tag:blogger.com,1999:blog-50375119334108946682024-03-13T15:09:45.797-07:00muna-saKita berkarya, kita tampilkan, sebuah isi hati kita.macanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-64319099894626418712009-02-03T23:49:00.000-08:002009-02-03T23:52:25.684-08:00INVESTIGASI KONSEP PLURALISME KEAGAMAAN DAN LOYALITAS MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA DI SULAWESI UTARAINVESTIGASI KONSEP PLURALISME KEAGAMAAN DAN<br />LOYALITAS MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA<br />DI SULAWESI UTARA<br /><br />PENDAHULUAN<br />Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap secara empiris pengaruh status sosial<br />dan ekonomi, partisipasi keagamaan, konsep pluralisme keagamaan, kebutuhan masyarakat<br />Muslim dan Kristen kepada tokoh agama, dan karisma tokoh agama terhadap loyalitas<br />masyarakat kepada mereka di Sulawesi Utara. Disamping itu, penelitian ini bermaksud<br />mengungkap pengaruh modernitas yang diekspresikan dalam indikator tempat domisili<br />(pedesaan atau perkotaan) terhadap tingkat partisipasi keagamaan masyarakat, pola konsep<br />pluralisme keagamaan, kebutuhan masyarakat kepada tokoh agama, karisma tokoh agama,<br />dan loyalitas masyarakat kepada tokoh agama; sekaligus mencoba menguji pengaruh<br />perbedaan agama (Islam dan Kristen) dalam empat model atau hipotesis yang diuji<br />berdasarkan perbedaan konsep pluralisme terhadap lima variabel tersebut di Sulawesi Utara.<br />LATAR BELAKANG/SIGNIFIKANSI<br />Masyarakat beragama di era global sekarang menghadapi tantangan mendasar<br />termasuk masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa beragama. Tatanan global dunia<br />tidak memperkecualikan masyarakat Indonesia dari pengaruh nilai-nilai modernisme yang<br />bertumpu pada rasionalisme dan demokrasi liberal sekuler yang berimplikasi pada tuntutan<br />pembentukan masyarakat atau negara yang dikelola lewat suatu sistem mekanistis dan efektif.<br />Nilai-nilai ini telah melahirkan struktur keterpisahan antara domain negara dan agama secara<br />formal dalam masyarakat Barat yang pada akhirnya menyebabkan pengalihan kekuasaan<br />gereja ke tangan masyarakat sekuler dalam sistem bangsa-negara. Dapat dibayangkan bahwa<br />dalam struktur sosial politik seperti itu pola dan karakter hubungan antara tokoh atau tokoh<br />agama dan masyarakat mengalami perubahan dimana masyarakat moderen tidak lagi<br />merasakan ketergantungan tinggi pada simbol-simbol kekuasaan agama atau tokoh-tokoh<br />agama sebagaimana yang terjadi pada masa pra-modernisme (Giddens, 2001). Namun<br />demikian, pemisahan agama dan negara di Barat tidak selamanya berimplikasi pada totalitas<br />penggusuran simbol-simbol agama dari kehidupan sosial politik (Hawley, 2003). Nilai-nilai<br />liberal rasional yang dikembangkan dalam kehidupan bernegara sedikit banyak masih terpaut<br />padu dengan elemen agama yang dianut masyarakatnya. Bahkan di era post-modernisme,<br />agama semakin memperlihatkan keterpautan tinggi dengan elemen sosial politik dunia.<br />Hal ini menyebabkan pola hubungan-hubungan sosial antara berbagai elemen<br />masyarakat semakin kompleks. Anggota masyarakat mengkategorikan atau mengidentifikasi<br />diri sebagai bagian dari kelompok tertentu baik politik, agama maupun budaya tidak lagi<br />semata-mata berdasar pada faktor-faktor tradisional dan transendental, akan tetapi sudah<br />sampai pada pertimbangan yang bersifat pragmatis. Masyarakat tidak lagi dapat menerima<br />dengan mudah realitas hubungan-hubungan sosial sebagaimana adanya, akan tetapi mereka<br />telah mulai mempertanyakan realitas sosialnya dalam konteks kepentingan pragmatis.<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 2<br />Misalnya, dalam masyarakat tradisional anggota-anggota masyarakat rela memberikan<br />dukungan kepada entitas agama tertentu sebab mereka mendapati diri lahir dalam suatu<br />realitas sosial tertentu. Namun di era kontemporer, masyarakat mulai peka terhadap<br />signifikansi pragmatis identifikasi dirinya dengan entitas sosial tertentu sehingga mereka<br />hanya dapat menunjukkan loyalitas kepada suatu entitas apabila ada manfaat secara<br />pragmatis di samping makna-makna transendental yang mereka idealkan dari sebuah nilainilai<br />agama maupun budaya. Pertautan antara elemen pragmatis dan transendental ini<br />semakin meningkatkan kompleksitas fenomena pola hubungan-hubungan sosial yang ada<br />dalam masyarakat.<br />Dalam konteks masyarakat agama dan budaya keindonesiaan fenomena seperti ini<br />sejak lama menunjukkan orientasi penguatan rasionalisme modernis, bukan hanya pada<br />masyarakat Muslim tapi juga pada masyarakat Kristen. Di kalangan masyarakat Muslim,<br />mempertanyakan berbagai konsep-konsep keagamaan bahkan simbol-simbol kekuasaan<br />agama (baca: tokoh agama) yang dianggap mapan tidak lagi dipandang sebagai suatu hal<br />tabu. Konsep hukum jinayah, kewarisan, poligami yang dianggap final dalam legasi literatur<br />pemikiran Islam diperdebatkan secara terbuka oleh berbagai kalangan dari berbagai disiplin<br />ilmu dengan berbagai sumber informasi. Guru agama atau kyai dalam masyarakat tidak lagi<br />menjadi satu-satunya sumber informasi tentang agama karena ketersediaan berbagai sumber<br />alternatif. Sebagai konsekuensinya, otoritas sumber-sumber informasi tradisional menemukan<br />tantangan.<br />Tantangan yang berawal dari ketersediaan ragam sumber informasi ini dipertajam<br />dengan semakin tercerahkannya masyarakat dan kompleksnya problematika kehidupan.<br />Ketercerahaan pendidikan memungkinkan mereka membentuk independensi dalam<br />memecahkan problematika kehidupan keagamaan. Di sisi lain, kompleksitas kehidupan<br />menyebabkan mereka semakin kreatif dalam mengkomunikasikan antara tuntutan hidup dan<br />paham keagamaan. Kreativitas ini tidak selamanya sejalan dengan paham yang<br />dikembangkan dalam komunitas guru atau ulama agama. Konsekuensinya masyarakat<br />sekarang berani menyampaikan protes keras secara terbuka kepada tradisi atau fatwa<br />keagamaan yang lahir dari kalangan tokoh atau institusi agama seperti kyai, pastor, pendeta,<br />lembaga fatwa atau keuskupan. Sekarang, bukan lagi hal yang tabu menyampaikan protes<br />kepada figur atau institusi agama tersebut.<br />Friksi dalam kehidupan sosial politik keagamaan semakin menemukan momen yang<br />tepat setelah kedatangan paham post-modernisme dimana segala bentuk kekuatan yang<br />mengakibatkan timbulnya differentiation (pembedaan) dalam hubungan-hubungan sosial<br />digugat. Modernisme dalam pandangan Turner (1994) tidak terlalu bermasalah bagi<br />masyarakat Muslim dan Kristen sebab asas utamanya adalah rasionalisme. Rasionalisme<br />adalah paham yang menentang pendekatan-pendekatan mitos atau khurafat dalam membaca<br />perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Misi seperti itu tidak berbeda dari misi<br />Islam dan Kristen yang mengedepankan rasionalisme.<br />Fenomena ini membuka peluang pada peningkatan pluralitas realitas keagamaan<br />dalam masyarakat Indonesia, bukan saja keragaman dalam ideologi dan filosofi antar agama,<br />tapi juga keragaman sekte atau aliran dalam setiap agama. Di samping itu, dengan keragaman<br />alternatif sumber informasi agama bukan tidak mungkin karisma para tokoh agama beserta<br />loyalitas masyarakat kepada mereka juga mengalami pergeseran sebagai akibat dari tingkat<br />kebergantungan secara monolitis kepada para tokoh agama yang semakin berkurang.<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 3<br />Berbeda dengan modernisme, post-modernisme dengan dukungan globalisme<br />konsumeris mengaburkan segala perbedaan atau batasan struktur sosial dalam segala lini<br />kehidupan termasuk keberagamaan. Keduanya telah membuka segala bentuk modal baik<br />ekonomi, sosial maupun agama kepada semua segmen masyarakat. Bentuk konsumeris tidak<br />lagi sebatas materi ekonomi, tapi juga telah melingkupi modal sosial dan agama. Dalam<br />perspektif ini, modal sosial dan agama menjadi komoditi ekonomi yang berpengaruh pada<br />pola-pola hubungan sosial, budaya dan agama dalam kerangka nalar pragmatis. Modal<br />materi, sosial dan agama menyatu sehingga orang-orang yang memiliki modal sosial dan<br />agama dapat saja memakai modal tersebut dengan motif yang sangat pragmatis tanpa didasari<br />motif transendental keagamaan atau mengkombinasikan antara keduanya. Misalnya, modal<br />agama yang dimiliki seorang tokoh agama tidak lagi semata-mata menjadi simbol kekuasaan<br />transendental akan tetapi juga menjadi instrumen kekuatan sosial, politik dan ekonomi.<br />Dalam berbagai kebijakan di bidang agama selama ini di Indonesia, para tokoh agama<br />masih dipandang sebagai simbol kekuatan dan dapat dijadikan mesin penggerak dan alat<br />kontrol dalam malakukan rekayasa sosial yang bertujuan memperkuat dan menjaga integritas<br />bangsa. Konsep ini berasumsi bahwa para tokoh agama mempunyai otoritas yang<br />terlegitimasi secara sosial dan politik yang mampu menjadi jaring pengaman bagi stabilitas<br />sosial dan politik bangsa. Masalahnya, fenomena sosial keagamaan yang semakin kompleks<br />dan pragmatis di era post-modernisme global konsumeris sekarang nampaknya tidak lagi<br />dapat dianalisis hanya dengan asumsi dasar seperti ini. Karena itu, asumsi ini perlu diuji<br />keabsahaannya melalui cara-cara empiris yang jarang dilakukan dalam pengambilan<br />kebijakan di bidang kehidupan beragama. Konsekuensinya, kebijakan acap kali<br />mengakibatkan eses sosial dimana asumsi konvensional di atas tidak mampu lagi<br />menjelaskannya.<br />Karena itu, menjadi penting untuk mempertanyakan karakter pola hubungan antara<br />tokoh agama dengan masyarakat mereka dalam beberapa aspek, khususnya di kalangan<br />masyarakat Kristen dan Muslim sebagai dua agama besar di Indonesia guna menjadi acuan<br />yang bermakna dalam mengambil kebijakan di bidang keagamaan dan budaya: Bagaimana<br />karakter hubungan antara status sosial dan ekonomi, partisipasi keagamaan, konsep<br />pluralisme keagamaan, kebutuhan masyarakat kepada tokoh agama, karisma tokoh agama<br />dan loyalitas masyarakat kepada tokoh agama dalam perspektif masyarakat; apakah kelimat<br />faktor pertama memiliki pengaruh terhadap tingkat loyalitas masyarakat kepada para tokoh<br />agama.<br />Nilai-nilai masyarakat yang memiliki orientasi ekonomi politik pragmatis dalam<br />berbagai bidang termasuk agama melahirkan pertanyaan seputar tingkat kebutuhan<br />masyarakat kepada para tokoh agama yang diasumsikan melahirkan karisma sosial dalam diri<br />tokoh agama yang pada gilirannya membawa pengaruh pada loyalitas masyarakat kepada<br />mereka. Namun demikian, ketiga variabel tersebut diasumsikan dipengaruhi oleh berbagai<br />variabel, seperti tempat domisili, gender, status sosial dan ekonomi, tingkat pertisipasi sosial<br />keagamaan dan karakter konsep pluralisme keagamaan.<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 4<br />II<br />MENELUSURI ISU PARTISIPASI KEAGAMAAN, PLURALISME, KEBUTUHAN<br />DAN LOYALITAS MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA<br />Penelitian tentang pemimpin organisasi telah lama dikembangkan dalam bidang<br />perilaku keorganisasian dalam suatu perusahaan atau organisasi. Apabila hubungan sosial<br />keagamaan dapat dipandang sebagai sebuah sistem masyarakat yang memiliki struktur,<br />meskipun lebih fleksibel dari pada sistem hirarki yang ada dalam organisasi formal, maka<br />struktur sosial keagamaan pun dapat dikaji dengan pendekatan-pendekatan yang berkembang<br />dalam organisasi formal. Dalam studi ini, ada lima konsep yang diuraikan berdasarkan<br />literatur yang ada, yaitu partisipasi keagamaan masyarakat, model konsep pluralisme,<br />kebutuhan masyarakat kepada tokoh agama, karisma tokoh agama dan loyalitas masyarakat<br />kepada tokoh agama. Konsep kebutuhan kepada tokoh agama, karisma dan loyalitas diadopsi<br />dari studi-studi tentang perilaku pemimpin dan bawahan dalam sebuah organisasi dengan<br />mengkombinasikan konsep pertama dengan teori Maslow (1970) tentang piramida kebutuhan<br />manusia. Sedangkan dua konsep lain (pluralisme dan partisipasi keagamaan) merujuk pada<br />studi-studi empiris tentang pluralisme keagamaan dan efeknya terhadap partisipasi<br />keagamaan masyarakat dalam kajian sosiologi dan antropologi agama.<br />PARTISIPASI KEAGAMAAN MASYARAKAT<br />Partisipasi keagamaan masyarakat adalah peran serta masyarakat dalam bidang sosial<br />keagamaan yang ditunjukkan lewat keikutsertaan atau kontribusi aktif mereka dalam berbagai<br />kegiatan sosial keagamaan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif.<br />Secara institusional, dasar negara Indonesia hanya mengakui keberadaan lima agama<br />di bumi nusantara. Meskipun dalam kajian sosiologi agama telah lama diperdebatkan masalah<br />efek keragaman agama terhadap partisipasi keberagamaan masyarakat, implikasi praktis dari<br />pembatasan agama di Indonesia masih kurang dikaji. Selama ini diperdebatkan pilihan agama<br />yang banyak meningkatkan atau justu menurunkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan<br />keagamaan. Persoalan ini semakin menarik apabila kita menyadari bahwa secara formal<br />keagamaan bisa saja dibatasi, tapi di era global dimana interaksi antara penduduk bumi<br />semakin intens sehingga jalan untuk mengenal pilihan lain dalam hal keyakinan agama<br />semakin terbuka. Dengan demikian, pembatasan semacam itu perlu dikaji implikasinya<br />terhadap partisipasi keagamaan masyarakat.<br />Berger (1967) menegaskan bahwa pluralisme agama melemahkan jaringan dan<br />institusi sosial yang menekankan satu pilihan keyakinan saja. Apabila negara, institusi publik<br />dan kontak sosial sehari-hari tidak lagi memaksakan satu kebenaran keyakinan agama<br />tertentu, akan tetapi justru mengekspos masyarakat kepada keragaman pendapat, maka agama<br />kehilangan kualitasnnya sebagai kebenaran yang taken for granted. Dia menegaskan bahwa<br />proses seperti ini merupakan konsekuensi natural dari modernisasi. Sebaliknya, Finkle dan<br />Stark (1992) berpendapat bahwa teori ini gagal menjelaskan fenomena yang terjadi di<br />Amerika sebab negara industri ini memiliki tingkat pluralitas agama paling tinggi dan pada<br />saat yang sama memiliki presentasi kehadiran gereja yang paling tinggi pula. Fenomena<br />partisipasi keagamaan di Amerika mengilhami Finkle dan Stark (1992) mengajukan teori<br />tentang ekonomi agama. Keduanya berpandangan bahwa monopoli keberagamaan<br />merupakan kemalasan. Sebaliknya, pluralisme mendorong terjadinya kompetisi dimana setiap<br />institusi agama berjuang keras untuk meningkatkan jumlah pengikutnya sehingga semakin<br />banyak orang yang tertarik bergabung dalam agama. Disamping itu, realitas pluralitas agama<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 5<br />semakin membuka peluang bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam agama tertentu<br />sesuai dengan pilihan masing-masing (Voas et al., 2002).<br />Argumen ini menarik perhatian sebab ternyata fenomena kompetisi kelompok<br />beragama menjadi sumber berkembangnya vitalitas keberagamaan. Di samping itu, argumen<br />empiris yang menunjukkan bahwa ada asosiasi positif antara pluralisme dan partisipasi<br />keagamaan telah menimbulkan klaim bahwa pendekatan market atau ekonomi merupakan<br />pilihan rasional dalam mengkaji fenomena pluralisme agama (Chaves & Gorski, 2001).<br />Melton (2001) menekankan prospek pluralisme agama atas dua alasan. Pertama, pluralisme<br />agama nampaknya sangat berperan dalam meningkatkan partisipasi keagamaan secara total.<br />Partisipasi tinggi seperti itu menurutnya akan meningkatkan level moralitas masyarakat.<br />Kedua, level moralitas yang tinggi akan mengantar pada dorongan publik yang lebih besar<br />untuk memiliki sebuah pemerintahan yang bersih dan sekaligus berpartisipasi di dalam<br />pemerintahan seperti itu.<br />Berangkat dari pandangan tersebut di atas adalah menarik untuk mengidentifikasi<br />dampak partisipasi keagamaan terhadap konsep pluralisme pluralitas keagamaan masyarakat<br />Muslim dan Kristen di Sulawesi Utara.<br />KONSEP PLURALISME AGAMA MASYARAKAT<br />Konsep pluralisme agama adalah pemahaman masyarakat terhadap realitas keragaman<br />identitas agama dalam komunitas hidup mereka. Ada berbagai konsep yang telah berkembang<br />tentang tatanan ideal kehidupan umat beragama, mulai dari monisme ekslusif, monisme<br />inklusif sampai pada pluralisme relativistik.<br />Hubungan sosial antara penganut agama yang berbeda-beda bukan hanya fenomena<br />sosial yang tidak memerlukan intervensi kekuasaan, akan tetapi ia juga merupakan fenomena<br />yang memerlukan intervensi politik. Rawls (1996) menolak liberalisme komprehensif dan<br />menerima ide tentang fakta pluralisme yang reasonable. Menurutnya, di bawah kondisi<br />politik dan sosial yang diamankan dengan perolehan hak-hak dasar dan kebebasan institusi,<br />sebuah doktrin yang komprehensif dan beralasan akan lahir dan bertahan apabila keragaman<br />belum diperoleh. Fakta pluralisme yang reasonable diistilahkannya dengan fact of oppression<br />adalah pemahaman bersama (shared understanding) secara berkelanjutan atas doktrin agama,<br />modal dan filsafat. Fakta seperti itu dapat terjaga apabila ada penggunaan kekuatan negara<br />secara opresif. Pelaksanaan kekuasaan politik mereka dapat terjustifikasi apabila dilakukan<br />sesuai dengan perundang-undangan yang memuat hal-hal pokok dimana semua warga secara<br />akal sehat menyepakatinya dalam rambu-rambu prinsip dan landasan ideal yang diterima<br />secara bersama sebagai hal yang beralasan dan rasional (Talisse, 2003).<br />Gagasan Rawls (1996) tentang pluralisme menggambarkan situasi yang terjadi di<br />Indonesia di mana tatkala demokrasi dan masyarakat sipil berusaha dikembangkan dalam<br />masyarakat, ada beberapa kebijakan di bidang hukum, politik, budaya dan agama yang<br />mengundang kontroversi seperti undang-undang SISDIKNAS, undang-undang tentang<br />kerukunan hidup umat beragama, rancangan undang-undang tentang pornografi dan porno<br />aksi. Reaksi masyarakat terhadap produk perundang-undangan ini sering dikaitkan dengan<br />masalah hubungan mayoritas-minoritas. Kelompok minoritas merasa bahwa aspirasi mereka<br />atau eksistensi mereka terancam oleh produk undang-undang tersebut. Sehingga, menurut<br />Rawls (1966) dalam kondisi seperti itu hanya pluralisme yang ditopang dengan kekuasaan<br />pemerintah yang berlandaskan pada pemahaman bersama dapat berjalan dengan baik. Dalam<br />hal ini, Voltaire pernah menggambarkan situasi di Inggeris, “Apabila hanya ada satu agama<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 6<br />di Inggeris, maka akan ada bahaya despotisme; apabila ada dua, maka satu sama lain akan<br />memotong urat leher, akan tetapi ada tiga puluh agama dan mereka hidup bahagia dalam<br />kedamaian.” Artinya, semua bangsa sepanjang sejarah telah berjuang untuk menemukan<br />keseimbangan antara keyakinan dan masyarakat (Hatch, 2004). Ucapan Voiltaire ini menjadi<br />harapan ideal setiap masyarakat yang memiliki realitas plural. Namun yang menjadi<br />persoalan rekayasa sosial yang tepat untuk diterapkan dalam suatu masyarakat plural untuk<br />mewujudkan kehidupan damai.<br />Proses asimiliasi antara budaya biasanya diyakini sebagai suatu proses netral yang<br />dapat membentuk kebersamaan dalam kemajuan. Akan tetapi ternyata asimilisi itu juga tidak<br />bebas nilai, bukan sebuah proses sosial yang berlangsung secara obyektif sebab dalam sebuah<br />proses asimilasi budaya pihak mayoritas acapkali tidak tahan untuk menjadikan nilai mereka<br />memiliki pengaruh dominan dalam sistem sosial suatu masyarakat. Kecenderungan ini<br />tentunya akan mengundang reaksi dari pihak minoritas dengan alasan kesetaraan. Machacek<br />(2003) mencontohkan gerakan nativis seperti gerakan anti Katolik dan pasukan anti komunis<br />sebagai reaksi terhadap gerakan yang dilakukan kelompok mayoritas di Amerika untuk<br />menguatkan dominasi mereka dalam kehidupan masyarakat. Fenomena seperti ini tentu saja<br />melahirkan kekhawatiran mendalam tentang konsekuensi keragaman.<br />Menurut Requejo (1999) sekarang ada empat tipe pergerakan dalam kerangka<br />pluralisme budaya, yaitu gerakan single issue seperti gender, non-state nationalist, imigran<br />dan gerakan orang-orang indigenous. Keempat tipe tersebut, menurutnya, dalam sebuah<br />masyarakat demokratis liberal semestinya ditangani dengan cara yang berbeda-beda sesuai<br />dengan karakter kualitatif masing-masing. Akan tetapi pada prinsipnya, menurut Rawls<br />(1996), guna menangani hal seperti ini dibutuhkan sebuah kebijakan politik pluralis yang<br />berlandaskan pada penerimaan beralasan terhadap berbagai sudut pandang. Warga menjadi<br />reasonable apabila mereka memandang orang lain sebagai pribadi yang bebas dan setara di<br />dalam sebuah sistem kerjasama sosial sepanjang generasi. Mereka siap memberikan termaterma<br />yang fair dalam hubungan-hubungan sosial yang ditetapkan berdasarkan prinsipprinsip<br />dan ide-ide yang jelas. Mereka sepakat untuk beraksi berdasarkan terma-terma<br />tersebut, meskipun harus mengorbankan kepentingannya sendiri dalam kondisi tertentu,<br />dengan syarat yang lain juga menerima terma-terma tersebut (Howard, 2005).<br />Anthony, Hermans dan Sterkens (2005) menguraikan lima model konsep pluralisme<br />yang diajukan Knitter (2002). Pertama, model replacement (exclusivist model) yang<br />merepresentasikan pemahaman yang cenderung mengafirmasikan agama yang dianutnya<br />sebagai satu-satunya agama yang benar dan agama lain harus digantikan dengan agama yang<br />dianutnya sebagai solusi akhir. Kedua, model fulfilment yaitu model yang berpandangan<br />bahwa agama lain benar akan tetapi kesempurnaan akhir hanya ada pada agama yang<br />dianutnya. Model ini biasa juga dikenal dengan inclusivist model. Ketiga, model mutuality<br />yakni model yang melihat kesamaan elemen agama sehingga satu sama lain dapat saling<br />mengisi. Dalam menghubungkan hal-hal yang bertentangan diusahakan menemukan elemen<br />yang dapat dimiliki bersama. Kebaikan dan kebenaran suatu agama harus diukur dengan<br />kemampuannya mempromosikan kedamaian, keadilan dan kesatuan. Model ini biasa juga<br />disebut dengan model pluralist dalam kajian teologi agama. Keempat, acceptence model<br />yakni model yang menekankan bahwa perbedaan antara agama adalah riil dan partikularitas<br />setiap agama merupakan peluang untuk bertumbuh dan saling memperkaya. Perbedaan<br />agama dapat diinterpretasikan, dihubungkan dan diantar kepada hubungan kesatuan, akan<br />tetapi ‘yang banyak’ ini tidak dapat dilebur menjadi ‘yang satu’. Filter budaya agama sangat<br />berbeda sehingga suatu agama tidak dapat diukur dengan sistem ukuran agama lain. Model<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 7<br />ini meyakini bahwa usaha menghilangkan keragaman akan berakhir pada pengrusakan<br />vitalitas masing-masing agama. Fokus model ini lebih pada perbedaan ketimbang pada<br />penerimaan sehingga ia disebut juga dengan model diffential pluralism.<br />Knitter (2002) menguraikan bahwa model ini terdiri dari tiga perspektif yang berbeda<br />yaitu post-liberal cultural-linguistic perspective, plurality of ultimate perspective dan<br />comparative theological perpective. Perspektif pertama memandang agama dalam kerangka<br />budaya atau linguistik yang membentuk seluruh bangun pikiran dan kehidupan seseorang.<br />Perspektif kedua berpandangan bahwa perbedaan antar agama-agama bukan hanya dalam<br />bahasa, akan tetapi juga dalam inti dan elemen akhir (ultimate) semua agama. Perbedaan<br />yang riil antar agama-agama memungkinkan mempelajari sesuatu yang benar-benar baru.<br />Sedangkan perspektif ketiga berpandangan bahwa fondasi teologi agama-agama ditemukan<br />dalam dialog, bukan dalam teologi. Pemahaman yang baik terhadap suatu agama<br />kemungkinan lahir dari pemahaman yang lebih baik tentang agama lain. Pemahaman yang<br />lebih baik memerlukan komitmen kepada agama seseorang dan pada saat yang bersamaan<br />memerlukan keterbukaan kepada kebenaran yang ditemukan dalam agama lain.<br />Model yang terakhir adalah relativistic pluralism yang berpandangan bahwa terlepas<br />dari persamaan dan perbedaan berbagai elemen dalam agama-agama, semua diyakini<br />memiliki nilai dan signifikansi yang sama.<br />Sehubungan dengan pluralisme agama, tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat<br />Indonesia hidup dalam realitas tersebut. Sebagai konsekuensinya, dalam membangun<br />hubungan-hubungan sosial mereka telah membangun berbagai model konsep pluralisme<br />teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Namun konsep apapun yang mereka miliki, selama<br />ini belum ada penelitian yang pernah dilakukan untuk mengidentifikasi model konsep<br />pluralisme mereka. Padahal informasi semacam itu sangat bermanfaat, baik untuk kajian<br />perbandingan agama maupun untuk lebih mengenal bagaimana masyarakat memahami<br />konsep pluralisme. Informasi kedua ini dapat memberikan gambaran peta kognitif<br />masyarakat tentang pluralisme. Informasi semacam itu tentu saja sangat baik dijadikan acuan<br />dalam pengambilan kebijakan dalam proses rekayasa sosial keagamaan.<br />KEBUTUHAN MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA<br />Fiedler (1964) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang dapat menentukan apakah<br />seorang pemimpin disukai atau tidak disukai oleh orang-orang yang dipimpinya, yaitu<br />hubungan personalnya dengan mereka, kekuasaan yang diberikan oleh kedudukannya, dan<br />karakter tingkat struktur (rutin atau menantang) yang diberikan sub-ordinasi kepadanya. Dia<br />menegaskan bahwa apabila esensi kepemimpinan adalah proses dimana seseorang memberi<br />pengaruh kepada orang lain, maka isu mudah atau sulitnya seorang pemimpin memberi<br />pengaruh kepada mereka yang dipimpinnya dalam situasi tertentu adalah sangat penting<br />(Blanchard, 1967).<br />Tokoh agama adalah orang yang berusaha untuk memberi pengaruh pada masyarakat<br />dimana mereka hidup dengan sasaran pencerdasan dan pencerahan yang diasosiasikan dengan<br />usaha mendekatkan masyarakat pada agama yang dianutnya. Proses pencerahan ini<br />teraktualisasi dalam bentuk pemantapan keimanan dan ketakwaan yang berimplikasi pada<br />keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat atas dasar nilai-nilai agama. Tokoh<br />agama seperti ini dapat meliputi berbagai kalangan dengan ragam tingkatan dalam sistem<br />hirarki sosial keagamaan. Mereka itu adalah orang-orang yang bekerja untuk<br />mensosialisasikan ajaran-ajaran agama lewat media pengajaran dan menjadi model atau<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 8<br />tauladan di tengah masyarakat. Di samping itu, mereka juga mengayomi masyarakat dalam<br />menghadapi problematika kehidupan dengan pendekatan agama. Akan tetapi pendekatan ini<br />dapat juga terbuka dan meliputi ragam acuan pendekatan di luar agama sehingga terbentuk<br />sebuah sistem pendekatan kepemimpinan yang bersifat multidimensional sesuai dengan<br />kapasitas masing-masing. Guru agama dalam masyarakat seperti imam masjid, juru dakwah,<br />kyai, pendeta, pastor adalah agen-agen kepemimpinan agama.<br />Helmich dan Erzen (1975) melaporkan hasil temuannya bahwa pilihan strategi<br />seorang pemimpin untuk memberikan pengaruh kepada sub-ordinasinya ditentukan oleh<br />karakter sistem kebutuhan personalnya. Seorang pemimpin yang memiliki orientasi tugas<br />dalam memimpin cenderung merasa kurang puas dalam pencapaian kebutuhan dasar yang<br />integral dengan situasi kerja dan performans kerja yang ada. Dalam hal ini, pemimpin lakilaki<br />cenderung memenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan harga dan aktualisasi diri,<br />sedangkan pemimpin perempuan cenderung memenuhi kebutuhan yang memiliki asosiasi<br />dengan kebutuhan sosial (Helmich & Erzen, 1975).<br />Apabila kepemimpinan seorang tokoh agama dianalogkan dengan kepemimpinan<br />seorang manager perusahaan, maka mereka pun seharusnya terpengaruh oleh faktor-faktor<br />kepentingan personal dalam menjalankan fungsinya sebagai tokoh agama dalam<br />masyarakatnya. Mereka pun dapat menjalankan fungsinya dengan menerapkan berbagai<br />strategi yang dalam pikiran mereka sejalan dengan kepentingan personalnya. Kepentingan<br />personal ini dapat saja memiliki karakter materialis atau transendental atau sekaligus<br />menggabungkan kedua-duanya.<br />Pendekatan leader-centered telah lama mendominasi agenda penelitian di bidang<br />kepemimpinan dengan fokus pada personalitas, gaya perilaku, dan metode pengambilan<br />keputusan (De Vries et al., 1997). Hollander dan Offerman (1990) menggagas pentingnya<br />melibatkan pihak sub-ordinasi dalam membangun model kepemimpinan guna memperdalam<br />pemahaman tentang proses kepemimpinan (De Vries et al., 1997). Pendekatan ini pun dapat<br />diterapkan dalam dunia kepemimpinan tokoh agama. Meskipun mereka tidak identik dengan<br />pengambilan keputusan yang bersifat formal sebagaimana dalam dunia perusahaan atau<br />lembaga resmi, akan tetapi mereka adalah kelompok orang-orang yang selalu diperhadapkan<br />pada berbagai masalah-masalah kemasyarakatan di mana mereka dituntut untuk mengambil<br />keputusan yang menyentuh hajat hidup orang banyak. Posisinya sebagai rujukan dalam<br />pengambilan keputusan sosial keagamaan semakin kompleks saat mereka diperhadapkan<br />pada realitas sistem dan struktur sosial yang sangat plural sebab mereka harus mampu<br />bernegosiasi dengan berbagai pihak yang berbeda-beda dimana pihak tersebut juga memiliki<br />latar belakang kepentingan yang belum tentu sama dengan pihak pertama.<br />De Vries et al. (1997) mendefinisikan konsep ‘kebutuhan kepada pemimpin’ sebagai<br />persepsi dalam konteks sosial yang dimiliki pihak sub-ordinasi dalam hal ini masyarakat<br />mengenai relevansi tindakan pemimpin yang terlegitimasi dalam memberi pengaruh terhadap<br />dirinya atau satu kelompok miliknya.<br />Legitimasi kepemimpinan dalam masyarakat agama tentunya tidak sesederhana<br />legitimasi yang berlaku dalam sebuah lembaga resmi atau perusahaan. Seseorang menjadi<br />tokoh agama dalam sebuah masyarakat bukan atas dasar pemilihan yang dapat berlangsung<br />secara singkat, melainkan melalui sebuah proses panjang yang melibatkan banyak aspek,<br />mulai dari potensi keperibadian, keagamaan, kualifikasi pendidikan, sosial dan moral. Akan<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 9<br />tetapi asumsi yang berlaku dalam dunia kepemimpinan formal masih dapat diaplikasikan<br />dalam dunia kepemimpinan agama.<br />De Vries et al. (1997) mengasumsikan bahwa sub-ordinasi yang memiliki kebutuhan<br />rendah terhadap kepemimpinan cenderung bertindak independen dan menunjukkan respons<br />yang rendah terhadap intervensi yang dilakukan pemimpinnya. Sedangkan sub-ordinasi<br />dengan kebutuhan tinggi terhadap kepemimpinan cenderung menyerahkan dirinya kepada<br />tindakan pemimpinnya dan menganggap citra superior sebagai karisma pemimpin. Hal ini<br />pun tidak menutup kemungkinan terjadi dalam proses kepemimpinan agama. Suatu<br />masyarakat yang merasakan tingkat kebutuhan yang rendah terhadap tokoh agamanya akan<br />cenderung bersikap independen dan tidak merasakan substansi kehadiran seorang tokoh<br />agama dalam masyarakatnya. Sebaliknya, masyarakat yang merasakan kebutuhan yang tinggi<br />kepada tokoh agamanya akan bersikap patuh dan loyal kepada segala bentuk intervensi sosial<br />kemasyarakatan yang dilakukan tokoh agamanya. Masalahnya, indikator-indikator apa saja<br />yang dapat dijadikan acuan identifikasi kebutuhan masyarakat kepada para tokoh agamanya.<br />Maslow (1970) telah menggagas teori piramida kebutuhan manusia. Dalam teori ini,<br />dia menyusun hirarki sistem kebutuhan manusia dari tingkatan yang paling rendah sampai<br />pada tingkatan paling tinggi, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan pada keselamatan dan<br />keamanan, kebutuhan terhadap cinta dan rasa memiliki, kebutuhan pada harga diri dan<br />terakhir kebutuhan pada aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih tinggi, menurut Maslow, tidak<br />dapat tercapai sebelum kebutuhan yang lebih rendah terwujud (Anonymous, 2003; Boeree,<br />2006; Rouse, 2004). Di samping itu, keterpenuhan kebutuhan yang lebih tinggi menunjukkan<br />kualitas hidup seseorang dan piramida ini menjadi tangga seleksi bagi manusia sehingga,<br />menurut Maslow, semakin tinggi konsep kualitas yang ada, maka semakin sedikit pula orang<br />yang mencapainya. Apabila kita menyederhanakan konsep ini, mungkin para tokoh agama<br />dalam masing-masing daerah pada masyarakat tertentu adalah bagian dari komponen<br />masyarakat yang minoritas.<br />Teori ini senada dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan Abu Syaibah dan al-<br />Baihaqi dari Anas ra. dari Nabi saw. yang berbunyi " " آاد الفقر أن يكون آفرا وآاد الحسد أن يغلب القدر<br />(Hampir saja kefakiran menjadi kekufuran dan sifat hasad mengalahkan takdir Allah) (Al-<br />Suyuthi, 1993). Apabila keimanan dan ketakwaan merupakan gambaran aktualisasi diri<br />seseorang, apa pun agamanya, berdasarkan hadis ini dia akan sulit mewujudkan keduanya<br />tanpa dukungan keterpenuhan kebutuhan fisiologisnya. Kebutuhan fisiologis dalam konsep<br />kebutuhan Maslow adalah kebutuhan jasmani seperti makan dan minum serta tempat tinggal.<br />Mungkin teori Maslow (1970) tentang hirarki kebutuhan ini terkesan deterministik<br />sehingga peluang seseorang untuk mengejar dan mewujudkan harga diri serta<br />mengaktualisasikan diri sebagai elemen kebutuhan tertinggi seakan-akan tak mungkin<br />tercapai tanpa keterpenuhan elemen-elemen kebutuhan lain yang lebih rendah, seperti<br />kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keamanan dan kebutuhan terhadap cinta dan rasa<br />memiliki. Karena itu, menurut teori Maslow, orang yang kehilangan kesempatan pada jenjang<br />usia tertentu untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan tertentu, dia akan menghabiskan<br />waktu untuk mencari kebutuhan yang hilang tersebut dan kesempatan untuk menggapai<br />elemen kebutuhan yang lebih tinggi semakin berkurang. Namun demikian, masalah<br />kebutuhan sebaiknya dilihat lebih komprehensif dan tidak deterministik sebab pada<br />kenyataannya ada orang dalam masyarakat yang rela menghabiskan hidupnya untuk mengejar<br />tingkat keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agama masing-masing tanpa harus terhalang<br />oleh masalah keterpenuhan kebutuhan fisiologis. Orang-orang seperti ini biasanya memiliki<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 10<br />orientasi hidup transendental seperti keridhaan Tuhan dan keselamatan di alam lain. Dalam<br />dunia Islam, orang-orang seperti itu dapat ditemui di kalangan ulama-ulama shaleh seperti<br />Imam Ahmad bin Hambal, Hasan al-Banna, Sayyid Qutub dan banyak lagi yang lain. Dalam<br />dunia Kristen dan Budha, Mother Teresa dan Dalai Lama dikenal sebagai tokoh yang sangat<br />mengedepankan kepentingan orang lain dari kepentingan dirinya. Mereka itu secara fisiologis<br />sangat terbatas bahkan cenderung menolak dan menyerahkannya ke orang lain yang<br />membutuhkannya.<br />Namun demikian, teori Maslow (1970) tentang hirarki kebutuhan manusia tetap patut<br />dipertimbangkan untuk dijadikan acuan dasar dalam proses pengembangan konsep tentang<br />kebutuhan masyarakat kepada para tokoh agama mereka. Alasan yang mendasari kepatutan<br />ini adalah kenyataan bahwa sampai sekarang hanya Maslow yang pernah mengembangkan<br />kajian akademis yang sangat mendalam pada isu kebutuhan hidup manusia. Oleh karena itu,<br />sistem kebutuhan yang telah diteorikannya akan dipakai sebagai konsep dasar dalam<br />mengukur aspek kebutuhan masyarakat Muslim and Kristen terhadap tokoh agama mereka di<br />Sulawesi Utara. Tentunnya, aplikasi konsep ini dalam bidang keagamaan mesti dimodifikasi<br />sesuai dengan karakter variabel penelitian. Misalnya, apabila Maslow telah menghubungkan<br />kebutuhan fisiologis dengan kebutuhan-kebutuhan fisik manusia seperti makan dan minum,<br />konsep seperti ini dalam penelitian ini akan dimodifikasi dengan orientasi sejauh mana<br />masyarakat menghubungkan pemenuhan kebutuhan seperti itu dalam hubungan mereka<br />dengan para tokoh agama dalam masyarakatnya.<br />KARISMA TOKOH AGAMA<br />Dalam sosiologi kekuasaan, Weber (1864-1920) mendefinisikan karisma sebagai tipe<br />kekuasaan spesifik yang dalam bentuk murninya tidak berdasar pada kepentingan absolut<br />atau kekuasaan, akan tetapi semata-mata atas dasar kepercayaan terhadap otoritas khusus<br />seseorang. Akan tetapi dalam kajian antropologi agama, Weber berbicara tentang karisma di<br />luar konteks kekuasaan, melainkan dalam konteks sebuah konsep yang berhubungan dengan<br />mana dan tabu. Dalam hal ini, karisma diinterpretasikan sebagai fenomena yang jauh lebih<br />umum dari pada karisma kekuasaan, yakni pada konsep kekuatan yang sering<br />didepersonalisasi yang diasumsikan berada pada inti keyakinan dalam magic dan fetishism<br />(Riesebrodt, 1999). Shils (1972) mendefinisikan karisma sebagai kualitas yang diberikan<br />kepada seseorang, tindakan, peran, institusi, simbol dan obyek materi karena asumsi<br />hubungan mereka dengan kekuatan yang mengendalikan, vital, fundamental dan akhir. Bagi<br />Shils, segala konsentrasi kekuasaan yang dimiliki seseorang, suatu lembaga baik politik,<br />ekonomi, pemerintahan maupun individu mengakibatkan lahirnya karisma (Riesebrodt,<br />1999). Jadi, Weber cenderung menempatkan karisma pada posisi periferal dalam sistem<br />hubungan sosial, sedangkan Shils menempatkannya pada posisi sentral.<br />Sebenarnya konsep karisma yang dikembangkan Shils merupakan hasil intepretasi<br />terhadap konsep yang digagas oleh Durkheim dan Otto (1958). Dalam terma Durkheim,<br />karisma adalah sesuatu yang disucikan (the sacred) dan bagi Otto dikenal dengan the holy.<br />Yang disucikan ini mengontrol sistem dan hubungan-hubungan kekuasaan sosial (Riesebrodt,<br />1999). Sohm (1892) mengemukakan bahwa karisma pada awalnya tidak berhubungan dengan<br />sistem organisasi atau kedudukan, akan tetapi ia bersifat universal dan berpusat pada ucapan<br />Tuhan yang merupakan pemberian-Nya (Riesebrodt, 1999). Lalu, dalam perkembangan<br />berikutnya, kajian tentang karisma dikaitkan dengan kajian kepemimpinan, khususnya<br />kepemimpinan dalam organisasi tertentu.<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 11<br />Fagen (1993) mencoba mengelaborasi secara proposional atau hipotetik lima elemen<br />kepemimpinan karismatik berdasarkan teori kekuasaan yang digagas Weber, yakni (a)<br />pemimpin kharimastik merupakan hasil kreasi para pengikut yang muncul dari sistem<br />keyakinan mereka, bukan dari karakteristik transendental pemimpin. Apabila tak seorang pun<br />yang memiliki keyakinan akan kesempurnaan moral seseorang, sebijaksana dan sekuat<br />apapun seorang memimpin mempersepsikan dirinya karismanya tidak akan terwujud; (b)<br />Seorang pemimpin yang berhasil menumbuhkan kekuasaan karismatik dalam suatu situasi<br />dan konteks mungkin saja gagal total melakukan itu dalam konteks lain; (c) Seorang<br />pemimpin tidak menganggap diri dipilih atau bergantung pada para pengikutnya, akan tetapi<br />merasa diri dipilih dari atas untuk menjalankan suatu misi. Dia merasa bahwa legitimasi<br />kekuasaannya bersumber dari suatu hubungan khusus antara dirinya dengan suatu kekuatan<br />abstrak; (d) Perilaku pemimpin yang karismatik cenderung anti-birokrasi. Pemimpin seperti<br />ini dikelilingi oleh orang-orang yang dipilih berdasarkan kesetiaan, bukan atas dasar prosedur<br />formal; (e) Kepemimpinan karismatik cenderung tidak stabil dan transformasional guna<br />menghadapi perubahan-perubahan baru (Fagen, 1993).<br />Konsep ini lalu mulai diaplikasikan dalam teori-teori kepemimpinan atau organisasi<br />pada dekade delapan puluhan. Bass (1980) mengembangkan konsep baru yang<br />menghubungkan antara karakter transformasional dan karisma kepemimpinan dalam<br />karyanya Leadership beyond Expectations. Gagasan Bass (1980) telah melahirkan apa yang<br />dikenal dengan new paradigma dalam kajian kepemimpinan (Conger & Kanungo, 1994).<br />Hunt (1999) mencoba membandingkan antara paradigma lama dan baru kepemimpinan<br />sebagai berikut: (a) Melalui aspek visionernya, kepemimpinan baru atau<br />transformasional/karismatik telah melebarkan peran pemimpin tradisional ke dalam apa yang<br />dikenal dengan a manager of meaning yang memberikan hubungan kuat dengan literatur<br />budaya organisasi dan aspek simbolik organisasi; (b) Paradigma ini menekankan pentingnya<br />reaksi emosional para pengikut terhadap visi transendental pemimpin; (c) Paradigma ini<br />cenderung menfokuskan perhatian pada level atas kepemimpinan, bukan pada level bawah<br />yang mendominasi kajian kepemimpinan tradisional; dan (d) Paradigma ini lebih<br />menfokuskan diri pada pendekatan kualitatif dalam kajian seperti wawancara, studi kasus dan<br />observasi jika dibandingkan dengan studi sebelumnya. Kecenderungan terakhir ini mendapat<br />kritik dari Conger dan Kanungo (1994). Keduanya berargumen bahwa kecenderungan<br />memakai pendekatan kualitatif telah menyebabkan kesempatan untuk melakukan pengujian<br />teori secara empiris dan terukur berkurang, yang berimplikasi pada kelambanan dalam<br />memajukan pengembangan teori. Hal ini menyebabkan keduanya mencoba<br />mengoprasionalisasikan beberapa konsep mengenai kepemimpinan transformasional dan<br />karismatik dalam bentuk instrumen pengukuran.<br />Merujuk pada lima elemen karisma kepemimpinan yang digagas Weber, Conger,<br />Kanungo, Menon, dan Mathur (1997) melakukan serangkaian pengujian instrumen untuk<br />mengidentifikasi proses kepemimpinan yang karismatik dalam suatu organisasi. Instrument<br />yang pertama kali dikembangkan Conger dan Kanungo (1994) telah diujicobakan kepada tiga<br />komunitas, yaitu manager perusahaan Amerika, delegasi parti politik Kanada dan pekerja<br />klerik India. Dalam ketiga studi tersebut, analisis menunjukkan bahwa instrumen yang<br />mereka kembangkan memiliki konsistensi reliabilitas dan validitas dalam pemakaiannya<br />terhadap segmen masyarakat yang cukup varian (Conger et al., 1997).<br />Operasionalisasi konsep karisma oleh Conger dan Kanungo (1994) dilakukan dengan<br />memperhatikan tahapan proses kepemimpinan, yakni (a) Tahap pengenalan lingkungan untuk<br />mengidentifikasi peluang dan tantangan guna merumuskan orientasi organisasi ke depan; (b)<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 12<br />Tahap perumusan strategi dan tujuan yang diartikulasikan dalam bentuk keanggotaan<br />organisasi; dan (c) Tahap penggalangan komitmen dan mobilisasi keanggotaan organisasi<br />untuk mengimplementasikan strategi guna mencapai tujuan lewat pengambilan berbagai<br />inisiatif (Conger et al., 1997).<br />Konsep karisma yang telah dioperasionalisasikan oleh Conger dan Kanungo (1994)<br />akan diadopsi untuk dikembangkan menjadi instrumen guna mengukur karisma tokoh agama<br />dalam penelitian ini dengan melakukan modifikasi yang diperlukan. Adalah wajar apabila<br />konsep ini diaplikasikan dalam bidang kepemimpinan agama dalam masyarakat sebab<br />konsep karisma sebenarnya pertama kali digagas dalam bidang kajian antropologi dan<br />sosiologi agama.<br />LOYALITAS MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA<br />Loyalitas masyarakat kepada tokoh agama dipahami sebagai ikatan masyarakat<br />kepada tokoh agama yang lahir dari rasa keterpenuhan kebutuhan tertentu seperti kepuasan<br />pada keuntungan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain sebagainya.<br />Adler (1988) mengungkapkan bahwa kajian loyalitas organisasi telah menimbulkan<br />minat yang besar terhadap kajian sains organisasi. Keduanya mengemukakan bahwa pada<br />dasarnya loyalitas organisasi adalah ikatan kuat yang terbentuk dari sebuah organisasi atau<br />individu dan kelompok. Loyalitas meliputi rasa kedekatan, kepemilikan, keinginan kuat<br />untuk menjadi bagian dari sesuatu; loyalitas melibatkan kesiapan memberi kontribusi<br />terhadap sesuatu; loyalitas mencakup kecondongan secara suka rela kepada suatu kelompok<br />atau orang; dan kerelaan mengikuti dengan penuh rasa percaya kepemimpinan atau petunjuk<br />suatu organisasi.<br />Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan guna menginterpretasikan hal-hal yang<br />melatarbelakangi loyalitas seseorang kepada sesuatu. Dalam pendekatan modal nilai, ikatan<br />loyalitas keorganisasian diprediksikan memiliki motif ekonomi dan didorong oleh pertukaran<br />keahlian, tenaga dan produktifitas antara pekerja untuk menghasilkan pendapatan. Dalam<br />pendekatan kekuasaan tempat kerja, diasumsikan bahwa yang mendasari lahirnya loyalitas<br />adalah fungsi persepsi pekerja terhadap legitimasi kekuasaan yang dilakukan oleh majikan.<br />Sedangkan penganut pendekatan kepuasan kerja dan komitmen pekerjaan melihat loyalitas<br />sebagai sesuatu yang secara mendasar disebabkan oleh faktor individualisme yang diarahkan<br />pada kerugian dan keuntungan pribadi serta imbalan instrinsik yang intergral dalam pekerjaan<br />(Adler & Adler, 1988).<br />Penelitian yang dilakukan tentang loyalitas dalam konteks kelompok agama masih<br />kurang. Mungkin loyalitas yang memerlukan komitmen kesetiaan dalam bidang kajian agama<br />tidak mudah untuk dihubungkan dengan kepentingan ekonomi dan kerja sebab loyalitas<br />keagamaan memiliki karakter yang unik dalam aspek transendensinya.<br />Belajar dari Marx (1818-1883) dan Weber (1864-1920), Bourdie menggagas konsep<br />modal budaya (social capital) dan modal agama (religious capital). Dia berpendapat bahwa<br />bukan hanya modal ekonomi dan produksi yang mengendalikan kehidupan suatu masyarakat,<br />akan tetapi modal budaya dan agama juga dapat mengendalikannya. Budaya, agama,<br />stratafikasi dan kekuasaan memiliki hubungan yang erat. Perjuangan mendapatkan<br />pengakuan sosial merupakan dimensi utama dalam semua kehidupan sosial, tidak terkecuali<br />kelompok beragama. Modal agama dan budaya, menurut dia, merupakan bentuk kekuasaan<br />yang tidak dapat direduksi dalam pertukaran modal ekonomi. Lewat interaksi kekuasaan<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 13<br />sosial, tokoh agama menegaskan diri sebagai sumber yang bernilai (valued resources); posisi<br />yang tidak dimiliki orang banyak. Perbedaan kelas ini lalu disalahpahami sebagai nilai yang<br />bersumber dari kebernilaian individu, bukan dari posisi kelas, maka dengan sendirinya<br />masyarakat melegitimasi sistem kelas. Berbeda dengan Bourdie, Frankfurt School<br />berpendapat bahwa hegemoni subyektif budaya masalah telah menyebabkan perbedaan kelas<br />budaya tidak terlihat dengan jelas (Swartz, 1996).<br />Uraian teori modal budaya dan agama yang dikemukakan Bourdie di atas<br />mengindikasikan kemungkinan modal agama untuk saling terkait dalam pertimbangan<br />kepentingan yang dimiliki masyarakat. Kepentingan ini dapat berimplikasi pada karakter<br />loyalitas mereka kepada para tokoh agama.<br />Penelitian dalam bidang pemasaran di perusahaan menunjukkan bahwa perilaku<br />manager berpengaruh pada komitmen karyawan kepada perusahaan sehingga apabila<br />pemimpin sebuah perusahaan kurang memahami hubungan antara komitmen dengan perilaku<br />manager peluang untuk terjadi miskomunikasi menjadi besar. Miskomunikasi seperti itu<br />dapat berimplikasi negatif terhadap keberlangsungan dan kemajuan perusahaan (Agarwal et<br />al., 1999). Hal yang sama dapat terjadi kepada masyarakat terhadap tokoh agama mereka.<br />Perilaku para tokoh agama dapat berpengaruh kepada perspektif mereka tentang karisma dan<br />loyalitas terhadap para tokoh agama.<br />Pentingnya loyalitas organisasi telah lama ditemukan dalam kajian managemen.<br />Loyalitas ini mengungkapkan berbagai sikap karyawan yang kompleks seperti komitmen<br />afektif yang mencakup kedekatan emosional kepada organisasi, komitmen bertahan bekerja<br />pada organisasi dan komitmen normatif yang merepresentasikan pertimbangan tanggung<br />jawab terhadap organisasi. Pada dasarnya penelitian menunjukkan bahwa keputusan untuk<br />bertahan pada suatu organisasi ditentukan oleh tinggi rendahnya komitmen seseorang kepada<br />organisasinya (Wu, t.th).<br />Kerendahan loyalitas dan komitmen terhadap agama pun tidak menutup kemungkinan<br />dapat berakibat pada keputusan seseorang untuk melepaskan tali ikatan dengan agama<br />tertentu lalu mencari alternatif lain, baik berupa agama lain atau tidak beragama sama sekali.<br />Kejadian seperti ini dapat saja muncul sebagai implikasi dari perilaku tokoh agama dalam<br />masyarakat tertentu.<br />III<br />PENUTUP<br />Analisis utama menunjukkan beberapa hasil penting, yaitu sebagai berikut: (a)<br />Tempat domisili warga masyarakat dengan kategori pedesaan dan perkotaan yang<br />merepresentasikan keterlibatan dan keterbukaan mereka terhadap proses modernitas memiliki<br />pengaruh yang sangat penting terhadap tingkat partisipasi keagamaan masyarakat, tingkat<br />kebutuhan masyarakat kepada tokoh agama, karisma tokoh agama di mata masyarakat, dan<br />loyalitas masyarakat kepada tokoh agama; (b) Model konsep pluralisme yang dipahami dan<br />diyakini anggota masyarakat memberikan pengaruh sangat penting dalam menentukan<br />karakter hubungan antar variabel dalam empat model yang diajukan untuk diuji; (c) Status<br />ekonomi dan partisipasi keagamaan memiliki pengaruh pada variabel tertentu, akan tetapi<br />pengaruh ini cenderung tergantung pada karakter atau model konsep pluralisme yang<br />diyakini warga masyarkat. Misalnnya, status ekonomi ditemukan berpengaruh positif pada<br />Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 14<br />model yang menggunakan konsep pluralisme differential sebagai salah satu variabel dan<br />sebaliknya berpengaruh negatif pada model yang menggunakan konsep pluralisme relativis;<br />(d) Kebutuhan kepada tokoh agama dan karisma tokoh agama ditemukan berpengaruh secara<br />signifikan pada loyalitas kepada tokoh agama dalam semua (empat) model yang diuji; (e)<br />Perbedaan gender dan perbedaan agama ditemukan juga berpengaruh pada variabel tertentu<br />dalam model dengan karakter konsep pluralisme tertentu. Misalnya, perbedaan agama dan<br />gender ditemukan berpengaruh secara signifikan pada model konsep pluralisme differential,<br />akan tetapi pengaruh serupa tidak ditemukan dalam model konsep pluralisme yang lain; (f)<br />Loyalitas yang tinggi terhadap tokoh agama tidak selamanya menunjukkan bahwa tokoh<br />agama memiliki karisma yang tinggi dalam persepsi anggota masyarakat tertentu. Warga<br />masyarakat yang melaporkan diri memiliki tingkat partisipasi keagamaan private lebih tinggi<br />menunjukkan tingkat persepsi karisma tokoh agama yang lebih rendah, meskipun<br />melaporkan tingkat loyalitas yang tinggi kepada tokoh agama mereka. Dengan demikian,<br />tidak selamanya persepsi tingkat karisma tokoh agama berjalan secara harmonis dengan<br />tingkat loyalitas kepada mereka; (g) Kecenderungan bersikap relativis dalam melihat<br />hubungan antar agama memiliki pengaruh negatif terhadap signifikansi peran tokoh agama<br />dalam masyarakat; dan terakhir (h) Orang Kristen menunjukkan tingkat kebutuhan kepada<br />tokoh agama mereka yang lebih tinggi dari pada orang-orang Islam. Hal ini mungkin terkait<br />dengan perbedaan tingkat pendidikan dan ekonomi tokoh-tokoh agama antara masyarkat<br />Kristen dan Muslim.<br />Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perbedaan karakter tempat domisili<br />masyarakat sangat penting pengaruhnya terhadap pembentukan model konsep pluralisme<br />keagamaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Selanjutnya, posisi tokoh agama dalam suatu<br />masyarakat memiliki kecenderungan besar untuk ditentukan oleh tingkat kebutuhan anggota<br />masyarakat kepada mereka. Tingkat kebutuhan ini sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor,<br />termasuk status sosial dan ekonomi serta tingkat partisipasi keagamaan anggota masyarakat.<br />Selanjutnya, untuk menjelaskan bagaimana proses pembentukan karakter hubungan antar<br />konsep atau variabel yang diuji dan teridentifikasi dalam studi ini membutuhkan studi lanjut<br />dengan pendekatan yang lebih grounded untuk menjelaskan lebih dalam dan rinci dengan<br />prosedur kualitatif guna membangun makna-makna konstruksi yang relevan dan teruji.<br /><br />http://muliadinur.files.wordpress.com/2008/10/makalah-tr-vi_muliadi-nur.pdfmacanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-84248028682409726832009-01-31T00:22:00.001-08:002009-01-31T00:25:00.661-08:00uu BHPBerita<br />Sub Sistem Dikti<br />Layanan<br />Arsip Berita<br />Pengumuman<br />Naskah Pidato<br />Berita Sub Sistem<br />Ranking Universitas <br /><br />Rangking Universitas<br />di ASIA (Webometric)<br /><br /> <br />Promising Universities <br /><br />Link Dikti Departement (0)<br />Media (2)<br />Organization (0)<br />Pemerintahan (0)<br />Perguruan Tinggi (1)<br />Situs Pendidikan (0)<br /><br />Tahukah Anda? Menteri Pendidikan Republik Indonesia - Berikut merupakan daftar Menteri Pendidikan Republik Indonesia dari awal berdirinya republik ini sampai dengan saat ini.<br /><br />Ki Hadjar Dewantara - <br /><br /> <br /><br /><br /> <br /><br /><br />Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1889–26 April 1959) adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda.<br /><br />Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, beliau mendirikan perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.<br /><br /><br />Soewandi - <br /><br /> <br /><br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Soewandi (1899 - ?) adalah Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II kemudian Menteri Pengajaran pada Kabinet Sjahrir III. Setelah lulus dari sekolah pangreh praja, Soewandi meraih gelar sarjana hukum. Kemudian ia mengantungi ijazah notaris. Berlatar belakang di bidang hukum, Soewandi kemudian ditarik menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Sjahrir II dan Sjahrir III. Dalam kabinet Sjahrir III, Soewandi menjabat Menteri Pendidikan dan Pengajaran. Saat itu ia menggagas sistem ejaan yang kemudian dikenal dengan nama sistem Ejaan Soewandi atau dikenal juga sebagai sistem Ejaan Republik Indonesia. Ejaan Soewandi menggantikan Ejaan van Ophuijsen pada 19 Maret 1947 dan berlaku selama 25 tahun sebelum diganti oleh pemerintah Orde Baru dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) pada bulan Agustus 1972.<br /><br /><br />Ali Sastroamidjojo SH - <br /><br /> <br /><br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Ali Sastroamidjojo SH (Grabag, Jawa Tengah, 21 Mei 1903 - Jakarta, 13 Maret 1976). Ia adalah tokoh politik, pemerintahan, dan nasionalis. Ia mendapatkan gelar Meester in de Raechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1927. Ia juga adalah Perdana Menteri Indonesia ke-8 yang sempat dua kali menjabat pada periode 1953-1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo I) dan 1956-1957 (Kabinet Ali Sastroamidjojo II).<br /><br />Selain itu, Ali juga sempat menjabat sebagai Wakil Menteri Penerangan pada Kabinet Presidensial I, Menteri Pengajaran pada Kabinet Amir Sjarifuddin I, Amir Sjarifuddin II, serta Hatta I, dan Wakil Ketua MPRS pada Kabinet Kerja III, Kerja IV, Dwikora I, dan Dwikora II.<br /><br /><br />Mohammad Yamin - <br /><br /><br /><br />Mohammad Yamin Merupakan menteri pendidikan dari 30 Juli 1953 s/d 12 Agustus 1955. Mohammad Yamin menjabat Menteri Pendidikan pada era kabinet Ali Sastroamidjojo I. <br /><br /> <br /><br />Dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulakan karir sebagai seorang penulis pada dasawarsa1920-an semasa puisi Indonesia mengalami romantisisme yang hebat. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada kata-kata basi bahasa Melayu Klasik.<br /><br /><br />Selengkapnya <br /><br /> <br /> Home Berita Pengesahan Undang-Undang BHP <br />User Kata Sandi <br /><br />Pengesahan Undang-Undang BHP <br />Ditulis oleh Irwandi <br />Friday, 19 December 2008 <br />Salah satu perkembangan mutakhir pendidikan Indonesia adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) (17/12/2008) oleh DPR RI. UU BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar.<br />Namun dibalik idealisme dan tujuan Undang-Undang BHP itu dibuat, muncul kritik-kritik dari beberapa kalangan yang mengatakan bahwa BHP adalah sebuah produk undang-undang yang digerakkan oleh mitos otonomi. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan Negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang pada tujuan kritis dan blok histories yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bisa membaca tanda-tanda zaman. Pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.<br /><br />Itu adalah wacana pemikiran yang lazim dalam sebuah Negara demokratis. Pembentukan Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN.<br /><br />Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini, dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.<br /><br />UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi. <br /><br />UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi. Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi.<br /> <br />Undang-Undang BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. menurut Dirjen Dikti, dr. Fasli Jalal, Ph.D dalam konferensi Pers (18/12) justru pemerintah yang akan pontang-panting mencarikan dana untuk tanggung jawab yang sangat besar ini. <br /><br />Sebagai badan hukum, satuan pendidikan memiliki wewenang hokum untuk melakuka tindakan hukum dan konsekwensi hukum atas penggunaan hak itu. Pasal 63 menyebutkan “ setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3), dan pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun da dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3) da pasal 39 adalah pasal yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. <br /><br />Recommend this article...macanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-22981785873306100502009-01-31T00:07:00.000-08:002009-01-31T00:16:25.506-08:00budayaya<br />Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas <br /> <br />Lukisan musisi wanita Persia dari Hasht-Behesht Palace ("Istana 8 surga.")<br /><br />Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.Daftar isi [sembunyikan]<br />1 Pengertian<br />2 Unsur-unsur<br />3 Wujud dan komponen <br />3.1 Wujud<br />3.2 Komponen<br />4 Hubungan antara unsur-unsur kebudayaan <br />4.1 Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)<br />4.2 Sistem mata pencaharian hidup<br />4.3 Sistem kekerabatan dan organisasi sosial<br />4.4 Bahasa<br />4.5 Kesenian<br />4.6 Sistem kepercayaan <br />4.6.1 Agama Samawi<br />4.6.2 Filosofi dan Agama dari Timur<br />4.6.3 Agama tradisional<br />4.6.4 "American Dream"<br />4.6.5 Pernikahan<br />4.7 Sistem ilmu dan pengetahuan<br />5 Perubahan sosial budaya<br />6 Penetrasi kebudayaan<br />7 Cara pandang terhadap kebudayaan <br />7.1 Kebudayaan sebagai peradaban<br />7.2 Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"<br />7.3 Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi<br />8 Kebudayaan di antara masyarakat<br />9 Kebudayaan menurut wilayah<br />10 Referensi<br />11 Daftar pustaka<br />12 Lihat pula<br />13 Pranala luar<br /><br /><br />[sunting]<br />Pengertian<br /><br />Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.<br /> <br />Upacara kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, Afrika.<br /><br />Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.<br /><br />Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.<br /><br />[sunting]<br />Unsur-unsur<br /><br />Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:<br />Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: <br />alat-alat teknologi<br />sistem ekonomi<br />keluarga<br />kekuasaan politik<br />Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: <br />sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya<br />organisasi ekonomi<br />alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)<br />organisasi kekuatan (politik)<br /><br />[sunting]<br />Wujud dan komponen<br /><br />[sunting]<br />Wujud<br /><br />Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.<br />Gagasan (Wujud ideal)<br />Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.<br />Aktivitas (tindakan)<br />Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.<br />Artefak (karya)<br />Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.<br /><br />Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.<br /><br />[sunting]<br />Komponen<br /><br />Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:<br />Kebudayaan material<br />Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.<br />Kebudayaan nonmaterial<br />Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.<br /><br />[sunting]<br />Hubungan antara unsur-unsur kebudayaan<br /><br />Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:<br /><br />[sunting]<br />Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)<br /> <br />Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.<br /><br />Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.<br /><br />Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:<br />alat-alat produktif<br />senjata<br />wadah<br />alat-alat menyalakan api<br />makanan<br />pakaian<br />tempat berlindung dan perumahan<br />alat-alat transportasi<br /><br />[sunting]<br />Sistem mata pencaharian hidup<br /><br />Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:<br />berburu dan meramu<br />beternak<br />bercocok tanam di ladang<br />menangkap ikan<br /><br />[sunting]<br />Sistem kekerabatan dan organisasi sosial<br /><br />Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.<br /><br />Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.<br /><br />[sunting]<br />Bahasa<br /><br />Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.<br /><br />Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.<br /><br />[sunting]<br />Kesenian<br /> <br />Karya seni dari peradaban Mesir kuno.<br /><br />Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.<br /><br />[sunting]<br />Sistem kepercayaan<br />Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama<br /><br />Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.<br /><br />Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:<br /><br />... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[1]<br /><br />Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian.<br /><br />[sunting]<br />Agama Samawi<br /><br />Agama Samawi atau agama Abrahamik meliputi Islam, Kristen (Protestan dan Katolik) dan Yahudi.<br />Agama Yahudi<br /><br />Yahudi adalah salah satu agama yang —jika tidak disebut sebagai yang pertama— tercatat sebagai agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi adalah bagian utama dari agama Ibrahim lainnya, seperti Kristen dan Islam.<br />Agama Kristen<br /><br />Kristen adalah salah satu agama penting yang berhasil mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus.<br />Agama Islam<br /><br />Agama Islam merupakan agama monotheime/atau monotheistik pertama dan tertua[rujukan?]. Agama lain merupakan modifikasi manusia dari agama islam[rujukan?]. kita bisa lihat dari perkembangan agama dari nabi-nabi terdahulu.<br /><br />Agama Islam telah berhasil merubah cara pandang orang-orang eropa terhadap kebudayaan, seperti ilmu-ilmu fisika, matematika, biologi, kimia dan lain-lain[rujukan?] oleh para fislsuf barat yang kemudian hal itu diubah dan diakui oleh orang-orang eropa bahwa hal itu merupakan hasil karya orang eropa asli, Terutama oleh kalangan para filsafat.[rujukan?] Sementara itu, nilai dan norma agama Islam banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan juga sebagian wilayah Asia Tenggara.<br /><br />[sunting]<br />Filosofi dan Agama dari Timur<br /> <br />Agni, dewa api agama Hindu<br />Artikel utama untuk bagian ini adalah: Filosofi Timur dan Agama dari timur<br /><br />Filosopi dan Agama seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China dan menyebar disepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi.<br /><br />Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.<br /><br />Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia.<br /><br />Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari China, mempengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.<br /><br />Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.<br /><br />[sunting]<br />Agama tradisional<br />Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama tradisional<br /><br />Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.<br /><br />[sunting]<br />"American Dream"<br /><br />American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. [2] Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"),[3] yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.<br /><br />[sunting]<br />Pernikahan<br /><br />Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya. Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya.<br /><br />[sunting]<br />Sistem ilmu dan pengetahuan<br /><br />Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).<br /><br />Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:<br />pengetahuan tentang alam<br />pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya<br />pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia<br />pengetahuan tentang ruang dan waktu<br /><br />[sunting]<br />Perubahan sosial budaya<br />Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya<br /> <br />Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.<br /><br />Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.<br /><br />Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:<br />tekanan kerja dalam masyarakat<br />keefektifan komunikasi<br />perubahan lingkungan alam.[4]<br /><br />Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.<br /><br />[sunting]<br />Penetrasi kebudayaan<br /><br />Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:<br />Penetrasi damai (penetration pasifique)<br />Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.<br />Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.<br />Penetrasi kekerasan (penetration violante)<br />Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat[rujukan?].<br /><br />[sunting]<br />Cara pandang terhadap kebudayaan<br /><br />[sunting]<br />Kebudayaan sebagai peradaban<br /><br />Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.<br /> <br />Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.<br /><br />Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".<br /><br />Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)<br /><br />Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu —berkebudayaan dan tidak berkebudayaan— dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.<br /><br />Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama — masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.<br /><br />[sunting]<br />Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"<br /><br />Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme — seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria — mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."<br /><br />Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.<br /><br />Pada tahun 50-an, subkebudayaan — kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya — mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.<br /><br />[sunting]<br />Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi<br /><br />Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.<br /><br />[sunting]<br />Kebudayaan di antara masyarakat<br /><br />Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,<br /><br />Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.<br />Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.<br />Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.<br />Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.<br />Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.<br /><br />[sunting]<br />Kebudayaan menurut wilayah<br />Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kebudayaan menurut wilayah<br /><br />Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.<br />Afrika<br /><br />Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan Arab dan Islam.<br /> <br />Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat.<br />Amerika<br /><br />Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.<br />Asia<br /><br />Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam. Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mempengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.<br />Australia<br /><br />Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia, Aborigin.<br />Eropa<br /><br />Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat". Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.<br />Timur Tengah dan Afrika Utara<br /><br />Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di daerah ini.<br /><br />[sunting]<br />Referensi<br />^ Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought, p. 488.<br />^ Boritt, Gabor S. Lincoln and the Economics of the American Dream, p. 1.<br />^ Ronald Reagan. "Final Radio Address to the Nation".<br />^ O'Neil, D. 2006. "Processes of Change".<br /><br />[sunting]<br />Daftar pustaka<br />Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition, 1882, available online. Retrieved: 2006-06-28.<br />Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legahkjkjl Identities. University of Michigan Press.<br />Boritt, Gabor S. 1994. Lincoln and the Economics of the American Dream. University of Illinois Press. ISBN 978-0-252-06445-6.<br />Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29164-4<br />Cohen, Anthony P. 1985. The Symbolic Construction of Community. Routledge: New York,<br />Dawkiins, R. 1982. The Extended Phenotype: The Long Reach of the Gene. Paperback ed., 1999. Oxford Paperbacks. ISBN 978-0-19-288051-2<br />Forsberg, A. Definitions of culture CCSF Cultural Geography course notes. Retrieved: 2006-06-29.<br />Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York. ISBN 978-0-465-09719-7.<br />— 1957. "Ritual and Social Change: A Javanese Example", American Anthropologist, Vol. 59, No. 1.<br />Goodall, J. 1986. The Chimpanzees of Gombe: Patterns of Behavior. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-11649-8<br />Hoult, T. F., ed. 1969. Dictionary of Modern Sociology. Totowa, New Jersey, United States: Littlefield, Adams & Co.<br />Jary, D. and J. Jary. 1991. The HarperCollins Dictionary of Sociology. New York: HarperCollins. ISBN 0-06-271543-7<br />Keiser, R. Lincoln 1969. The Vice Lords: Warriors of the Streets. Holt, Rinehart, and Winston. ISBN 978-0-03-080361-1.<br />Kroeber, A. L. and C. Kluckhohn, 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Cambridge, MA: Peabody Museum<br />Kim, Uichol (2001). "Culture, science and indigenous psychologies: An integrated analysis." In D. Matsumoto (Ed.), Handbook of culture and psychology. Oxford: Oxford University Press<br />Middleton, R. 1990. Studying Popular Music. Philadelphia: Open University Press. ISBN 978-0-335-15275-9.<br />Rhoads, Kelton. 2006. The Culture Variable in the Influence Equation.<br />Tylor, E.B. 1974. Primitive culture: researches into the development of mythology, philosophy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press. First published in 1871. ISBN 978-0-87968-091-6<br />O'Neil, D. 2006. Cultural Anthropology Tutorials, Behavioral Sciences Department, Palomar College, San Marco, California. Retrieved: 2006-07-10.<br />Reagan, Ronald. "Final Radio Address to the Nation", January 14, 1989. Retrieved June 3, 2006.<br />Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought. New Jersey U.S., Sussex, U.K: Humanities Press.<br />UNESCO. 2002. Universal Declaration on Cultural Diversity, issued on International Mother Language Day, February 21, 2002. Retrieved: 2006-06-23.<br />White, L. 1949. The Science of Culture: A study of man and civilization. New York: Farrar, Straus and Giroux.<br />Wilson, Edward O. (1998). Consilience: The Unity of Knowledge. Vintage: New York. ISBN 978-0-679-76867-8.<br />Wolfram, Stephen. 2002 A New Kind of Science. Wolfram Media, Inc. ISBN 978-1-57955-008-0macanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-38782784080004308122009-01-21T06:07:00.001-08:002009-01-21T06:09:04.470-08:00tips-tips membuat skripsiTidak dipungkiri lagi, menulis (tulisan ilmiah) bagi mahasiswa S1 merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, minimal menyita waktu, khususnya bila tulisan ilmiah tersebut dievaluasi dan dipresentasikan.<br /><br />Bentuk tulisan ilmiah yang secara formal dievaluasi dan dipresentasikan dalam penilaiannya di Jurusan Teknik Sipil UPH adalah membuat LAPORAN KERJA PRAKTEK (setelah minimal terkumpul 100 sks) dan SKRIPSI / LAPORAN TUGAS AKHIR MAGANG atau yang sejenisnya, yang menjadi syarat memperoleh gelar sarjana di level S1.<br /><br />Laporan kerja praktek relatif tidak menjadi masalah karena tujuan utama adalah untuk melihat pengalaman mahasiswa peserta dalam mendapatkan wawasan bidang nyata di dunia konstruksi di luar kelas. Enaknya lagi yaitu di Jurusan kami bahwa pembuatan laporan kerja praktek tersebut dapat dikerjakan kelompok (maksimum dua orang). Kebetulan saya ditugaskan sebagai pembimbing kerja praktek.<br /><br />**tentang mengerjakan berkelompok**<br /><br />Dengan mengerjakan secara berkelompok tersebut, tentunya tidak bisa diketahui apakah tulisan tersebut dikerjakan bersama-sama atau hanya seorang saja yang aktif , sedang yang lainnya pasif. Tetapi karena penilaiannya adalah didasarkan pada presentasi dan tanya jawab secara oral (langsung), dimana laporan tertulis itu dijadikan dasar pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, maka dapat diketahui: mana dari mahasiswa tersebut yang aktif atau pasif atau bahkan tidak melakukan kerja praktek sama sekali (berbohong). Prakteknya di UPH, sudah ada mahasiswa yang digagalkan karena dari presentasi oral dapat diketahui bahwa ternyata mahasiswa tersebut tidak melaksanakan kerja praktek yang sebenarnya (sudah ada dua orang), lalu yang mengulang karena meskipun sudah melakukan kerja praktek, tetapi ternyata tidak memahami apa-apa yang ada di tempat kerja prakteknya (ada dua orang juga).<br /><br />SKRIPSI (dan tugas akhir lainnya ) relatif lebih susah karena harus dikerjakan mandiri, tentunya dibantu oleh pembimbing skripsi yang bebas dipilih oleh mahasiswa (bila disetujui).<br /><br />Dalam praktek, pembuatan skripsi adalah momok karena menyita waktu dan perhatian dari mahasiswa dalam membuatnya, selain itu juga kadang-kadang dijumpai bahwa meskipun dikerjakan cukup lama (berbulan-bulan) tapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Kadang perlu 1 semester atau 2 semester atau bahkan lebih, dan jika lebih terpaksa ganti judul dan ganti pembimbing. Jelas dengan pertambahan waktu tersebut biaya yang dikeluarkan mahasiswa menjadi berlipat-lipat. Kasihan orang-tuanya. :(<br /><br />Karena dianggap sebagai penghambat kelulusan maka ada beberapa universitas (program studi) mencoba menghilangkannya dan mengganti dengan tugas-tugas di kelas. Jika anda menemukan kondisi seperti itu, coba amati : pasti jumlah muridnya banyak, mereka (yg membuat kebijaksanaan skripsi dihapus) sebenarnya kesulitan cari dosen pembimbing. Skripsi jadi lama, atau mutunya jadi dipertanyakan. Takut dianggap lulusannya sedikit maka skripsi dihapus. Jadi orientasi penyelenggaranya hanya berpikir jumlah kelulusan meningkat, tapi mutu dipertanyakan.<br /><br />kemampuan seseorang dalam menuangkan gagasan secara tertulis merupakan representasi dari kualitas intelektualnya, karena melalui tulisan atau karya tulis (dalam bentuk apapun) seseorang mewujudkan pikirannya. … Dari tulisan memang akan kelihatan logika berpikir seorang. Apakah subjek, predikat dan objeknya jelas, atau kalimatnya kacau. Dengan menulis, seseorang belajar berpikir secara eksak dan padat. (Dedi Supriadi 1997)<br /><br />Kesulitan membuat skripsi juga dirasakan penulis sewaktu menjadi mahasiswa. Jika mau mengingat kembali, maka lamanya waktu studi dulu adalah akibat penulisan tugas akhir, baik sewaktu jadi mahasiswa S1 di UGM maupun mahasiswa S2 di UI. Bahkan pada saat-saat awal jadi dosenpun kadang masih susah untuk mengevaluasi tulisan skripsi mahasiswa. Khususnya untuk menentukan apakah tulisannya baik atau buruk. Paling-paling dilihat tampilannya, formatnya atau bila ketemu kesalahan dalam ejaan atau kalimat.<br /><br />Tetapi dengan berjalannya waktu, setelah cukup banyak mencoba untuk meneliti, menulis dan menerbitkan buku, akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sebenarnya menulis (baik skripsi atau lainnya) adalah relatif mudah jika sudah tahu tip-tip yang penting.<br /><br />Langkah-langkah atau tip penting yang dimaksud adalah :<br /><br />1. Mampu melihat dan memilih masalah yang akan ditulis. Ini merupakan hal yang paling penting dari suatu SKRIPSI dan membedakan dengan menulis pada umumnya. Bagaimanapun skripsi adalah suatu bentuk karya tulis ilmiah yang mana mahasiswa diharapkan dapat berpikir ilmiah dengan membuat suatu penelitian sebagai objeknya. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah hal-hal yang akan sampaikan berikut.<br />2. “APA” masalahnya tersebut, darimana anda mengetahui bahwa itu menjadi suatu masalah. Jika informasi tersebut diperoleh dari suatu studi pustaka berdasarkan jurnal-jurnal canggih up-to-dated maka tentunya lebih mudah meyakinkan orang lain bahwa masalah tersebut cukup baik untuk dibahas. Tetapi jika hasil pemahaman subyektif atau hasil pengamatan empiris pribadi belaka maka tentunya perlu data-data pendukung yang dibuat yang lebih banyak sehingga orang dapat yakin bahwa itu memang masalah yang patut dibahas (kerja lebih banyak).<br />3. “MENGAPA” anda memilih masalah tersebut, karena dosen pembimbingnya yang memilihkannya, atau karena anda menyukai bidang dimana masalah tersebut berada, tentu akan membedakan strategi anda mengerjakan tugas SKRIPSI tersebut. Sebaiknya usahakan anda memilih karena anda memang menyenangi bidang dimana masalah tersebut ada. Untuk itu, apakah anda menguasai persoalan atau tidak itu tidak menjadi masalah. Jika anda menguasai persoalan , misalnya tentang pemrograman, maka tentu akan mempermudah anda menyelesaikan tugas itu. Tapi jika tidak, maka itu merupakan kesempatan berharga anda untuk mendapat knowledge yang lain (mendapat ilmu baru), meskipun itu perlu ekstra tenaga.<br /><br />Ngelmu iku kelakone kanthi laku.<br />( indonesianya : menguasai ilmu itu perlu usaha keras, ingat cerita silat jawa: perlu bertapa dihutan-hutan atau di tempuran sungai agar digdaya ).<br /><br />Jika anda tidak tahu apa-apa (netral terhadap masalah tersebut) maka usahakan bahwa masalah tersebut dipahami oleh dosen pembimbing. Jika masalah itu yang memberi adalah dosen, maka diharapkan dosen tersebut juga tahu bagaimana dengan masalah tersebut. Jika benar-benar nggak tahu tentang masalah yang akan dipilih, maka pilihlah dosen pembimbing yang anda tahu kemampuannya, yang anda anggap dapat membimbing anda (anda punya respek terhadap dia).<br />4. “BAGAIMANA” masalah tersebut akan dapat diselesaikan, ini tentu memperkirakan ilmu-ilmu apa yang diperlukan untuk memecahkan massalah tersebut. Bisa melihat publikasi sebelumnya. Apakah untuk itu perlu uji eksperimental, penyelesaian parametris atau pemrograman atau yang lain. Kira-kira anda mempunyai keyakinan mampu atau tidak dengan itu. Itu konsekuensinya biaya dan waktu lho.<br />5. “BILAMANA” masalah tersebut terpecahkan , apa yang kira-kira anda dapatkan. Bila anda tahu apa yang dapat anda berikan jika masalah tersebut terselesaikan maka ini mendukung kepercayaan diri bahwa solusi dari SKRIPSI ini akan berharga. Bahkan kalau PD maka dapat diinformasikan ke teman-teman lain, misal ke seminar dsb. Menambah kepercayaan diri, juga nilai tambah jika membuat lamaran kerja.<br />6. Mampu memformulasikan MASALAH yang dipilih. Jika telah mempunyai alasan yang kuat tentang suatu masalah maka untuk realitas kerjanya maka usahakan masalah tersebut diformulasikan dalam bentuk tulisan pendek. Dalam hal ini dalam bentuk ABSTRAK. Kaget ya ? . Khan biasanya bikin abstract jika tulisan sudah selesai, itu jika abstract diterjemahkan sebagai rangkuman. Lha inilah bedanya, pengalaman dulu yang mengatakan bahwa abstrak dibuat setelah selesai dikerjakan, itu SALAH. Jika kondisinya demikian maka pengerjaan skripsi anda belum berbentuk, bisa liar, bisa kesana-kemari, tidak jelas, bisa lama. Kenapa ? Karena spesifikasinya belum ada (belum jelas/samar). Dengan membuat ABSTRACT terlebih dahulu maka anda sudah berusaha memfokuskan pikiran ke masalah tersebut yaitu dengan menuliskannya. Apa abstract tersebut kaku, ya enggak. Rubah-sedikit-sedikit ya nggak apa, tetapi dengan membuat abstract, kita tahu : o000 ada perubahan, mengapa, tentunya agar lebih baik lagi. TERKENDALI.<br />7. Dalam membuat abstrak tersebut, perlu untuk membagi menjadi tiga tahapan utama, yaitu tahapan INTRO: yaitu mengenalkan masalah, apa, mengapa, dan batasan-batasannya (nanti jadi BAB 1 dan BAB2); tahapan PROGRES: yaitu tentang bagaimana masalah tersebut dicoba dipecahkan, termasuk juga pembahasannya (nanti jadi BAB 3 dan BAB4); dan tahapan KESIMPULAN tentang bilamana masalah dapat terpecahkan (nanti jadi BAB5).<br />8. Evaluasi ABSTRACT bersama dosen pembimbing. Apakah abstract sudah menggigit. Bila perlu bisa juga dimasukkan ke seminar atau minta pendapat orang lain yang kritis. Tangkap masukan yang diberikan, evaluasi atau diskusikan dengan dosen. Jika mantap maka dapat dilanjutkan. Ingat, mutu tidaknya suatu hasil penelitian (skripsi) dapat dengan mudah dibaca dari abstract-nya. Jika abstract-nya nggak ada isi-nya maka kecil kemungkinan materi skripsi yang utama juga dibaca, paling-paling disimpan digudang. Tidak membanggakan untuk ditunjukkan orang lain. Tetapi abstract yang hebat kadang-kadang bisa mengecoh. ;)<br />9. Jika abstract sudah OK. Bisa dilanjutkan.<br />10. Jika anda sudah tahu apa masalah anda, mengapa anda memilih masalah tersebut, batasan-batasan masalah yang dipilih dan strategi penyelesaian yang akan dikerjakan maka tentunya hal itu dapat dituangkan dalam BAB 1. Penulisan BAB1 sangat penting karena menentukan luasan atau cakupan yang didiskusikan dalam bab-bab selanjutnya. Bab1 merupakan pengikat, pedoman kerja untuk bab-bab berikutnya. Jangan biasakan meniru BAB1 orang lain, belum tentu cocok. Jadi intinya Bab1 adalah pedoman kerja untuk penulisan bab-bab selanjutnya.<br />11. Untuk dapat mengerjakan skripsi sesuai dengan BAGAIMANA menyelesaikan masalah tersebut, tentu anda harus tahu lebih dahulu bagaimana strategi orang lain menangani atau bertindak terhadap masalah tersebut. Ini dapat diketahui dengan melakukan studi pustaka (BAB2), mereview publikasi orang lain dari jurnal-jurnal atau yang lainnya. Usahakan pakailah acuan jurnal-jurnal terkini (menurut salah satu profesor saya, gunakan jurnal dalam lima tahun terakhir). Tetapi bisa juga anda mengutip suatu karya yang pernah diterbitkan ratusan tahun yang lalu jika karya tersebut memang karya monumental di bidangnya. Sekali lagi, usahakan yang dijadikan referensi adalah jurnal ilmiah, bila terpaksa, baru textbooks.<br /><br />Referensi dalam suatu penelitian and publikasi juga dapat menjadi indikasi kehebatan dari materi yang diteliti dan ditulis tersebut.<br /><br />Jangan gunakan diktat kuliah sebagai referensi, karena kalau hanya diktat kuliah kayaknya kurang berbobot (kecuali yang telah dipublikasikan ke luar), jika hanya sekedar diktat copy-an sebaiknya hindari saja. Kecuali jika diktat itu diberikan oleh dosen yang terkenal pakar pada bidang yang dimaksud dan merupakan problem yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. **tetapi hati-hati, karena umumnya : dosen-dosen umumnya menyakinkan didepan kelasnya, tetapi kalau ketemu teman-teman sejawat-nya mejen **tak berkutik/pasif** Pengalaman menunjukkan bahwa diktat-diktat seperti itu di Indonesia hanya dibuat dari copy-and-paste aja. **kadang nggak bermutu**. Sorry nggak semua, tetapi kalau bisa cari rujukan yang dipublikasikan resmi.<br />12. Dengan memahami publikasi-publikasi yang ada tentang masalah yang dibahas tentunya dapat diambil suatu kesimpulan atau dugaan, apa-apa saja yang telah dilakukan orang.<br /><br />Selanjutnya kembali ke persyaratan pembuatan skripsi (level S1) tentunya bobotnya berbeda dengan tesis (level S2) atau disertasi (level S3). Pada level S1 tidak diperlukan suatu tingkat penelitian yang orisinil seperti halnya disertasi atau kedalaman seperti level S2. Menurut pemahaman penulis : pada level S1 , mahasiswa cukup diminta belajar memahami permasalahan, mengerti alasan mengapa permasalahan tersebut perlu dibahas, mengetahui tindakan orang lain tentang masalah tersebut termasuk tahu sisi baik dan buruknya masing-masing dan dapat menerapkannya pada kasus lokal (studi kasus) serta menarik kesimpulan dari tindakan yang dikerjakannya.<br /><br />Jika laporannya (skripsinya) dapat dibaca dan memperlihatkan alur logika-logika seperti di atas maka mahasiswa tersebut mestinya sudah pantas lulus level S1. Proses tersebut mencakup bab 3 - sampai bab akhir.<br /><br />Pada dasarnya penulisan skripsi yang paling sulit adalah pada cara memulainya, jika sudah sampai langkah ke-10 diatas maka penulisan dapat berkembang sangat cepat, dan bab-babnya bisa berkembang. Hanya ingat bahwa bab dibatasi pada suatu tahapan yang bisa mandiri, dan ingat bahwa setiap bab satu dengan yang lainnya harus ada benang merah yang menghubungkannya (terkait).<br /><br />Urutan-urutan bab, yaitu pada awal adalah intro, berkembang pada progress dan diakhiri dengan kesimpulan. Kesimpulan penting sekali, itu menunjukkan apakah penulis (mahasiswa) memahami apa yang dikerjakannya atau tidak, tergantung dari kesimpulan yang diberikan. Kesimpulan harus suatu yang spesifik tentang masalah tersebut. Apa yang terjadi , juga dengan kesimpulan dapat diketahui bahwa tulisan tersebut berguna atau tidak, bisa dilihat dari kesimpulan yang diberikan.<br /><br />Ingat dalam pembuatan skripsi, ketebalan tulisan tidak bisa menjadi ukuran apakah itu berbobot atau tidak. Suatu skripsi yang tipispun jika memenuhi konsep-konsep di atas bahkan kalau dikemas dengan baik itu dapat menarik untuk dipresentasikan diforum ilmiah yang lebih luas, dan dapat dibanggakan.<br /><br />O ya, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan menurut saya adalah :<br /><br />* Tampilan adalah nomer satu, isi baru ke dua. Jangan dibalik dan dibandingkan dengan manusia. Pengalaman menunjukkan bahwa bila tampilan (format) suatu tulisan tidak diperhatikan (jelek) maka isinya kemungkinan besar juga tidak akan dibaca. Dalam hal seperti itu, dosen penguji akan melihat-lihat lebih banyak tulisan anda, dan ada kemungkinan menemukan suatu kesalahan dari tulisan anda. :(<br />* Pastikan format yang digunakan sesuai dengan petunjuk dari Institusi (ini penting), berapa margin kiri-atas dsb, ukuran font, jumlah spasis pada baris, dsb-nya. Format yang baik kadang-kadang dapat mengecoh dosen penguji yang malas, sehingga ada kemungkinan tidak akan ketemu kesalahan yang ada (bila ada). Sehingga waktu di uji **selamat**. ;)<br />* Tentang ISI. Kualitas kadang-kadang bersifat relatif. Tergantung dosen dsb. Tetapi yang jelas dan langsung bisa dinilai adalah KONSISTENSI. Suatu tulisan harus konsisten, antara satu bagian dan bagian yang lain dalam skripsi tersebut. Jika tidak konsisten, maka itu dapat dijadikan modal untuk menguji materi skripsi tersebut. Pendapat anda saling di adu sendiri.<br />* Tulislah APA-APA YANG DIKUASAI saja. Jika ada hal-hal yang tidak diketahui (meski sudah usaha kesana-kemari) maka usahakan bagian tersebut dihilangkan (itu jika tidak mempengaruhi bagian-bagian lain). Jika tidak bisa maka usahakan hal tersebut di luar cakupan masalah yang diteliti. Ini penting. Ingat sebagai penulis maka seharusnya penulis menguasai tulisan yang dibuatnya. O ya, penting juga untuk mencari alasan yang bagus mengapa anda tidak perlu membahas hal tersebut (persiapan bila ada dosen yang kritis yang tahu tentang itu, tapi ini jarang terjadi, ya siapa tahu.)<br />* Semua tabel harus ada judul tabel dan nomer tabel, semua gambar harus ada judul gambar dan nomer gambar. Konsisten baik font dan nomernya dikeseluruhan laporan. O ya, gambar yang ditampilkan pada bagian dalam tulisan hanya yang mendukung ulasan / tulisan pada bagian itu. Jika sifatnya umum dan ukurannya besar maka sebaiknya di tampilan pada lampiran.<br />* Daftar Pustaka harus ada, ciri-ciri tulisan ilmiah adalah adanya acuan pustaka, dan penting yang harus diperhatikan bahwa yang dicantumkan pada Daftar Pustaka adalah yang diacu saja. Jangan sekedar nampang. Bagi orang awam memang kelihatannya keren, tulisannya didukung jurnal-jurnal ilmiah hebat, tapi bagi yang ngerti : apa-apaan ini, koq semuanya dicantumin, pasti penulisnya nggak baca dan tulisannya biasanya nggak berbobot (nggak tahu apa yang dituliskan, jadi biar tebal sembarangan nulis aja). Dosen penguji (yg tahu) cenderung ingin membuat pertanyaan menguji, “apa bener mahasiswa ini membaca pustak yang tercantum tersebut”. Hati-hati.<br />* Yang terakhir, jangan segan-segan untuk membaca ulang, prinsipnya semakin banyak anda membaca ulang maka semakin kecil kemungkinan kesalahan akan timbul.<br /><br />Apabila mungkin, biarkan draf anda agak sehari atau dua hari sebelum merevisinya. Hal ini akan memberi jarak mental anda dengan karya sehingga kemudian anda kembali dengan prespektif baru yang berbeda dan lebih segar. Saat itu anda bukan lagi pribadi yang sama dengan ketika anda menulis draf pertama. (Atmazaki 2006)<br /><br />Selain itu dengan semakin banyak membaca ulang skripsi anda maka anda semakin memahami masalah tersebut (sebagai modal nanti waktu presentasi oral).<br />* Ketidak-mauan membaca ulang makalah anda menunjukkan bahwa anda belum mantap dengan karya tulis yang anda buat, ada ’sesuatu’ dengan tulisan anda. Jika anda sendiri tidak mantap terhadap karya anda. Bagaimana orang lain bisa mantap. Itu prinsip menulis yang baik.<br /><br />Untuk mendukung terciptanya skripsi yang baik dan akhirnya dapat mengantar mahasiswa mencapai kelulusan dengan mantap, maka banyak membaca merupakan kunci utamanya. Oleh karena itu, ada baiknya pada bagian ini diberikan link-link dimacanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-78609150092899710702009-01-21T04:57:00.000-08:002009-01-21T05:18:42.205-08:00PENGERTIAN METODE PENELITIAN KUALITATIFBagian 1<br /><br />PENGERTIAN METODE PENELITIAN KUALITATIF<br /><br />Pengertian Metode Penelitian Kualitatif<br /><br />Terdapat kesalahan pemahaman di dalam masyarakat bahwa yang dinamakan sebagai kegiatan penelitian adalah penelitian yang bercorak survei. Ditambah lagi ada pemahaman lain bahwa penelitian yang benar jika menggunakan sebuah daftar pertanyaan dan datanya dianalisa dengan menggunakan teknik statistik. Pemahaman ini berkembang karena kuatnya pengaruh aliran positivistik dengan metode penelitian kuantitatif.<br /><br /> 1.<br /><br /> Ada dua kelompok metode penelitian dalam ilmu sosial yakni metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Di antara kedua metode ini sering timbul perdebatan di seputar masalah metodologi penelitian. Masing-masing aliran berusaha mempertahankan kekuatan metodenya<br /> 2.<br /><br /> Salah satu argumen yang dikedepankan oleh metode penelitian kualitatif adalah keunikan manusia atau gejala sosial yang tidak dapat dianalisa dengan metode yang dipinjam dari ilmu eksakta.<br /> 3.<br /><br /> Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan penggunaan angka<br /> 4.<br /><br /> Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan responden.<br /><br /><br />DASAR-DASAR PENELITIAN KUALITATIF<br /><br />Paradigma Metode Penelitian<br /><br />Ada dua metode berfikir dalam perkembangan pengetahuan, yaitu metode deduktif yang dikembangkan oleh Aristoteles dan metode induktif yang dikembangkan oleh Francis Bacon. Metode deduktif adalah metode berfikir yang berpangkal dari hal-hal yang umum atau teori menuju pada hal-hal yang khusus atau kenyataan. Sedangkan metode induktif adalah sebaliknya. Dalam pelaksanaan, kedua metode tersebut diperlukan dalam penelitian.<br /><br />Kegiatan penelitian memerlukan metode yang jelas. Dalam hal ini ada dua metode penelitian yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Pada mulanya metode kuantitatif dianggap memenuhi syarat sebagai metode penilaian yang baik, karena menggunakan alat-alat atau intrumen untuk mengakur gejala-gejala tertentu dan diolah secara statistik. Tetapi dalam perkembangannya, data yang berupa angka dan pengolahan matematis tidak dapat menerangkan kebenaran secara meyakinkan. Oleh sebab itu digunakan metode kualitatif yang dianggap mampu menerangkan gejala atau fenomena secara lengkap dan menyeluruh.<br /><br />Tiap penelitian berpegang pada paradigma tertentu. Paradigma menjadi tidak dominan lagi dengan timbulnya paradigma baru. Pada mulanya orang memandang bahwa apa yang terjadi bersifat alamiah. Peneliti bersifat pasif sehingga tinggal memberi makna dari apa yang terjadi dan tanpa ingin berusaha untuk merubah. Masa ini disebut masa pra-positivisme.<br /><br />Setelah itu timbul pandangan baru, yakni bahwa peneliti dapat dengan sengaja mengadakan perubahan dalam dunia sekitar dengan melakukan berbagai eksperimen, maka timbullah metode ilmiah. Masa ini disebut masa positivisme.<br /><br />Pandangan positivisme dalam perkembangannya dibantah oleh pendirian baru yang disebut post-positivisme. Pendirian post-positivisme ini bertolak belakang dergan positivisme. Dapat dikatakan bahwa post-positivisme sebagai reaksi terhadap positivisme. Menurut pandangan post-positivisme, kebenaran tidak hanya satu tetapi lebih kompleks, sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu saja.<br /><br />Dalam penelitian, dikenal tiga metode yang secara kronologis berurutan yakni metode pra-positivisme, positivisme, dan post-positivisme.<br /><br /><br />Ciri-ciri Penelitian Kualitatif<br /><br />Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Untuk mengetahui perbedaan tersebut ada 15 ciri penelitian kualitatif yaitu:<br /><br /> 1.<br /><br /> Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam kondisi yang asli atau alamiah (natural setting).<br /> 2.<br /><br /> Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti sebagai alat utama pengumpul data yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan wawancara<br /> 3.<br /><br /> Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.<br /> 4.<br /><br /> Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya dalam pengumpulan data sering memperhatikan hasil dan akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi.<br /> 5.<br /><br /> Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif. Mengutamakan data langsung atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.<br /> 6.<br /><br /> Dalam penelitian kualitatif digunakan metode triangulasi yang dilakukan secara ekstensif baik tringulasi metode maupun triangulasi sumber data.<br /> 7.<br /><br /> Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.<br /> 8.<br /><br /> Subjek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya.<br /> 9.<br /><br /> Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dan segi pendiriannya.<br /> 10.<br /><br /> Verifikasi. Penerapan metode ini antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif.<br /> 11.<br /><br /> Pengambilan sampel secara purposif. Metode kualitatif menggunakan sampel yang sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian.<br /> 12.<br /><br /> Menggunakan “Audit trail”. Metode yang dimaksud adalah dengan mencantumkan metode pengumpulan dan analisa data.<br /> 13.<br /><br /> Mengadakan analisis sejak awal penelitian. Data yang diperoleh langsung dianalisa, dilanjutkan dengan pencarian data lagi dan dianalisis, demikian seterusnya sampai dianggap mencapai hasil yang memadai.<br /> 14.<br /><br /> Teori bersifat dari dasar. Dengan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dapat dirumuskan kesimpulan atau teori.<br /><br /><br />Dasar Teoritis Penelitian<br /><br />Pada penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, menerapkan paradigma tertentu sehingga penelitian menjadi terarah. Dasar teoritis dalam pendekatan kualitatif adalah:<br /><br /> 1.<br /><br /> Pendekatan fenomenologis. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.<br /> 2.<br /><br /> Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.<br /> 3.<br /><br /> Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.<br /> 4.<br /><br /> Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.<br /><br /><br />KEDUDUKAN DAN RAGAM PARADIGMA<br /><br />Kedudukan Paradigma Dalam Metode Penelitian Kualitatif<br /><br />Ilmu pengetahuan merupakan suatu cabang studi yang berkaitan dengan penemuan dan pengorganisasian fakta-fakta, prinsip-prinsip, dan metoda-metoda. Dari sini dapat dipahami bahwa untuk dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan, maka cabang studi itu haruslah memiliki unsur-unsur penemuan dan pengorganisasian, yang meliputi pengorganisasian fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan, prinsip-prinsip serta metoda-metoda. Oleh Moleong prinsip-prinsip ini disebut sebagai aksioma-aksioma, yang menjadi dasar bagi para ilmuan dan peneliti di dalam mencari kebenaran melalui kegiatan penelitian.<br /><br />Dasar-dasar untuk melakukan kebenaran itu biasa disebut sebagai paradigma, yang oleh Bogdan dan Biklen dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Ada berbagai macam paradigma yang mendasari kegiatan penelitian ilmu-ilmu sosial. Paradigma-paradigma yang beragam tersebut tidak terlepas dari adanya dua tradisi intelektual Logico Empiricism dan Hermeneutika.<br /><br />Logico Empiricism, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu yang nyata atau faktual dan yang serba pasti. Sedangkan Hermeneutika, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu yang berada di balik sesuatu yang faktual, yang nyata atau yang terlihat.<br /><br />Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berusaha melihat kebenaran-kebenaran atau membenarkan kebenaran, namun di dalam melihat kebenaran tersebut, tidak selalu dapat dan cukup didapat dengan melihat sesuatu yang nyata, akan tetapi kadangkala perlu pula melihat sesuatu yang bersifat tersembunyi, dan harus melacaknya lebih jauh ke balik sesuatu yang nyata tersebut.<br /><br />Pilihan terhadap tradisi mana yang akan ditempuh peneliti sangat ditentukan oleh tujuan dan jenis data yang akan ditelitinya. Oleh karena itu pemahaman terhadap paradigma ilmu pengetahuan sangatlah perlu dilakukan oleh para peneliti. Bagi kegiatan penelitian, paradigma tersebut berkedudukan sebagai landasan berpijak atau fondasi dalam melakukan proses penelitian selengkapnya.<br /><br /><br />Ragam Paradigma Dalam Metode Penelitian<br /><br />Dalam rangka melakukan pengumpulan fakta-fakta para ilmuwan atau peneliti terlebih dahulu akan menentukan landasan atau fondasi bagi langkah-langkah penelitiannya. Landasan atau fondasi tersebut akan dijadikan sebagai prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar maupun aksioma, yang dalam bahasanya Moleong disebut sebagai paradigma.<br /><br />Menurut Bogdan dan Biklen paradigma dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.<br /><br />Paradigma didalam ilmu pengetahuan sosial memiliki ragam yang demikian banyak, baik yang berlandaskan pada aliran pemikiran Logico Empiricism maupun Hermeneutic. Masing-masing paradigma tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu para peneliti harus mempunyai pemahaman yang cukup terhadap dasar pemikiran paradigma-paradigma yang ada sehingga sebelum melakukan kegiatan penelitiannya, para peneliti dapat memilih paradigma sebagai landasan penelitiannya secara tepat.<br /><br />Menurut Meta Spencer paradigma di dalam ilmu sosial meliputi (1) perspektif evolusionisme, (2) interaksionisme simbolik, (3) model konflik, dan (4) struktural fungsional. Menurut George Ritzer paradigma di dalam ilmu sosial terdiri atas (1) fakta sosial, (2) definisi sosial, dan (3) perilaku sosial.<br /><br />Perbedaan dan keragaman paradigma dan atau teori yang berkembang di dalam ilmu pengetahuan sosial, menuntut para peneliti untuk mencermatinya di dalam rangka memilih paradigma yang tepat bagi permasalahan dan tujuan penelitiannya.<br /><br /><br />PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN<br /><br />Pengertian dan Fungsi Perumusan Masalah<br /><br />Perumusan masalah merupakan salah satu tahap di antara sejumlah tahap penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan penelitian. Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia dan bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa.<br /><br />Perumusan masalah atau research questions atau disebut juga sebagai research problem, diartikan sebagai suatu rumusan yang mempertanyakan suatu fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagai fenomena yang saling terkait di antara fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.<br /><br />Mengingat demikian pentingnya kedudukan perumusan masalah di dalam kegiatan penelitian, sampai-sampai memunculkan suatu anggapan yang menyatakan bahwa kegiatan melakukan perumusan masalah, merupakan kegiatan separuh dari penelitian itu sendiri.<br /><br />Perumusan masalah penelitian dapat dibedakan dalam dua sifat, meliputi perumusan masalah deskriptif, apabila tidak menghubungkan antar fenomena, dan perumusan masalah eksplanatoris, apabila rumusannya menunjukkan adanya hubungan atau pengaruh antara dua atau lebih fenomena.<br /><br />Perumusan masalah memiliki fungsi sebagai berikut yaitu Fungsi pertama adalah sebagai pendorong suatu kegiatan penelitian menjadi diadakan atau dengan kata lain berfungsi sebagai penyebab kegiatan penelitian itu menjadi ada dan dapat dilakukan. Fungsi kedua, adalah sebagai pedoman, penentu arah atau fokus dari suatu penelitian. Perumusan masalah ini tidak berharga mati, akan tetapi dapat berkembang dan berubah setelah peneliti sampai di lapangan. Fungsi ketiga dari perumusan masalah, adalah sebagai penentu jenis data macam apa yang perlu dan harus dikumpulkan oleh peneliti, serta jenis data apa yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti. Keputusan memilih data mana yang perlu dan data mana yang tidak perlu dapat dilakukan peneliti, karena melalui perumusan masalah peneliti menjadi tahu mengenai data yang bagaimana yang relevan dan data yang bagaimana yang tidak relevan bagi kegiatan penelitiannya. Sedangkan fungsi keempat dari suatu perumusan masalah adalah dengan adanya perumusan masalah penelitian, maka para peneliti menjadi dapat dipermudah di dalam menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel penelitian.<br /><br />Kriteria-kriteria Perumusan Masalah<br /><br />Ada setidak-tidaknya tiga kriteria yang diharapkan dapat dipenuhi dalam perumusan masalah penelitian yaitu kriteria pertama dari suatu perumusan masalah adalah berwujud kalimat tanya atau yang bersifat kalimat interogatif, baik pertanyaan yang memerlukan jawaban deskriptif, maupun pertanyaan yang memerlukan jawaban eksplanatoris, yaitu yang menghubungkan dua atau lebih fenomena atau gejala di dalam kehidupan manusaia.<br /><br />Kriteria Kedua dari suatu masalah penelitian adalah bermanfaat atau berhubungan dengan upaya pembentukan dan perkembangan teori, dalam arti pemecahannya secara jelas, diharapkan akan dapat memberikan sumbangan teoritik yang berarti, baik sebagai pencipta teori-teori baru maupun sebagai pengembangan teori-teori yang sudah ada.<br /><br />Kriteria ketiga, adalah bahwa suatu perumusan masalah yang baik, juga hendaknya dirumuskan di dalam konteks kebijakan pragmatis yang sedang aktual, sehingga pemecahannya menawarkan implikasi kebijakan yang relevan pula, dan dapat diterapkan secara nyata bagi proses pemecahan masalah bagi kehidupan manusia.<br /><br />Berkenaan dengan penempatan rumusan masalah penelitian, didapati beberapa variasi, antara lain (1) Ada yang menempatkannya di bagian paling awal dari suatu sistematika peneliti, (2) Ada yang menempatkan setelah latar belakang atau bersama-sama dengan latar belakang penelitian dan (3) Ada pula yang menempatkannya setelah tujuan penelitian.<br /><br />Di manapun rumusan masalah penelitian ditempatkan, sebenarnya tidak terlalu penting dan tidak akan mengganggu kegiatan penelitian yang bersangkutan, karena yang penting adalah bagaimana kegiatan penelitian itu dilakukan dengan memperhatikan rumusan masalah sebagai pengarah dari kegiatan penelitiannya. Artinya, kegiatan penelitian yang dilakukan oleh siapapun, hendaknya memiliki sifat yang konsisten dengan judul dan perumusan masalah yang ada. Kesimpulan yang didapat dari suatu kegiatan penelitian, hendaknya kembali mengacu pada judul dan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan.macanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-1031473126880079422009-01-19T02:44:00.000-08:002009-01-19T02:45:32.617-08:00KIAT MENJADI ORANG SUKSESKiat Menjadi Orang Sukses <br />Success is a journey, not a destination – Ben Sweetland<br /><br />Kegagalan adalah guru yang paling bijak. Orang sukses adalah orang yang terus mencoba, meskipun telah mengalami banyak kegagalan. Mereka tidak pernah berhenti mencoba dan mencoba lagi. Hidup bagi mereka adalah peluang untuk mencapai kesuksesan. Kiat-kiat berikut ini disarikan dari hasil penelitian terhadap orang-orang sukses. Apa sebenarnya yang mereka ketahui dan lakukan untuk menjadi sukses?<br />Berikut kiat menjadi orang sukses yang bisa Anda teraplkan:<br /><br />- Orang ukses mau mengambil resiko. Mereka berupaya untuk mencapai target, melakukan penghematan, membangun relasi dengan banyak orang dan gesit mencoba sesuatu yang baru guna mengikuti perkembangan zaman, dan mau terus mengambil resiko untuk meraih sukses.<br />- Orang sukses percaya diri dan merasakan bahwa mereka berbuat sesuatu untuk dunia. Mereka memandang sebuah dunia yang besar dan ingin memainkan peranan penting di dalamnya. Mereka tetap bekerja sesuai ketrampilan mereka, sambil tetap menyadari bahwa ketrampilan ini memberi nilai kepada ketrampilan lainnya. Mereka juga sadar, karya terbaik akan menghasilkan kompensasi bagi mereka.<br />- Orang sukses menikmati apa yang sedang mereka lakukan. Mereka mampu melihat pekerjaan sebagai kesenangan, mereka memilih bekerja di mana mereka dapat unggul. Orang sukses menyukai tantangan, mereka menikmati pencapaian puncak permainan mereka, apakah di pekerjaan, lapangan tennis atau lapangan golf.<br />- Orang sukses adalah pelajar seumur hidup. Mereka menyadari, pendidikan tak pernah berakhir tapi dimulai di setiap tingkatan kehidupan dan terus berlanjut hingga akhir kehidupan. Pendidikan tidak terbatas di ruang kelas, artinya mencoba ide baru, membaca buku, surat kabar, majalah dan menggunkan internet merupakan bentuk pendidikan pula. Karena itu tetaplah mengalir sesuai perubahan ketertarikan dan kemampuan Anda, dan nikmati perubahan. Ini akan membantu Anda tumbuh dan merasakan lebih percaya diri.<br />- Orang sukses berpandangan positif terhadap apa yang dapat mereka kerjakan, dan ini meluas pada hal-hal lain. Mereka percaya gelas itu setengah penuh dan bukan setengah kosong. Mereka menanamkan semangat pada diri sendiri dan dapat membayangkan diri bagaimana mereka berhasil menyelesaikan suatu tugas sulit atau mencapai penghargaan tertinggi. Orang sukses berbuat bagaikan pelatih bagi orang lain, dengan menyuguhkan pesan-pesan positif dalam kehidupan sehari-hari. Mereka senang melihat orang lain membuat tonggak sejarah dalam kehidupan mereka.<br />- Orang sukses punya banyak cara untuk memotivasi diri sendiri sehingga dapat terus berkarya lebih baik dari yang lain. Ada yang dengan cara melakukan beberapa pekerjaan setiap hari pada bidang berbeda.<br />- Orang sukses menyelesaikan tugas tidak dengan setengah-tengah, dan mereka menggunakan cara kreatif dalam meraih sukses. Meski mungkin membutuhkan waktu lebih lama, mereka akhirnya melampaui garis finish. Mereka memanfaatkan waktu dengan baik dalam mensinergikan kemampuan fisik dan mental untukmacanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-37558972671252358032009-01-19T02:42:00.000-08:002009-01-19T02:44:02.385-08:00MENGUBAH HAL YANG BIASA MENJADI HAL YANG LUAR BIASAMengubah Hal Biasa Menjadi Luar Biasa<br /> <br />Siapa yang bisa menyangka jika ”air putih” dan ”teh” biasa bisa diubah menjadi bisnis dengan keuntungan luar biasa? Siapa yang bisa mengira jika sebuah jenis musik Rock yang biasa didengar orang bisa menunjang sukses sebuah kafe? Siapa yang bisa memprediksikan jika sebuah mimpi seorang manusia biasa bisa mengubah nasib sebuah bangsa? Apa yang bisa mengubah hal-hal biasa tersebut menjadi hal-hal yang luar biasa? <br /><br />Oleh:<br />Roy Sembel, Direktur MM Finance Plus, <br />Universitas Bina Nusantara (www.roy-sembel.com), <br />Sandra Sembel, Direktur Utama Edpro (Education for Professionals), <br />edpro@cbn.net.id<br /><br />Faktor Plus<br /><br />Norman Vincent Peale mengungkapkan dalam bukunya Power of the Plus Factor bahwa Faktor Plus telah membantu banyak orang yang berhasil mengaktifkannya untuk mengubah hal-hal yang biasa menjadi hal-hal yang luar biasa. Faktor ini bisa mengangkat kegagalan, penyakit, depresi, kesulitan, dan tantangan, dan mengubah semua ini menjadi kesuksesan. Norman Vincent Peale juga mengatakan bahwa ternyata Faktor Plus bukan saja dimiliki orang-orang sukses, tetapi faktor ini dimiliki semua orang, termasuk Anda dan saya. Yang membedakan orang-orang istimewa ini dari orang kebanyakan adalah bahwa orang-orang sukses tersebut berhasil menemukan, dan mengaktifkan faktor plus dalam hidup mereka. Bagaimana cara mengaktifkan faktor plus tersebut?<br />Mimpi. Mimpi bisa dimiliki siapa saja. Mimpi bukan eksklusif dimiliki oleh orang-orang sukses. Orang sukses asalnya adalah orang biasa yang memiliki mimpi luar biasa. Martin Luther King Jr mempunyai mimpi di mana anak cucunya hidup di negara yang tidak membedakan ras dan suku bangsa. Mahatma Gandhi memiliki mimpi untuk memerdekakan India dari belenggu kekejaman kolonialisme dengan tindakan tanpa kekerasan. Bill Gates pernah bermimpi pada suatu saat komputer yang pada waktu itu masih merupakan perangkat teknologi canggih yang mahal dan besar bisa dimanfaatkan dengan mudah dan murah di seluruh rumah tangga. Romo Mangun juga memiliki mimpi indah di mana semua orang, terutama rakyat miskin bisa memiliki hak, kesempatan, dan keterampilan untuk Mandiri. Mimpi-mimpi itulah yang menjadi kekuatan luar biasa yang mengaktifkan faktor Plus dalam diri ”orang-orang biasa”. <br />Para pemimpi seperti Martin Luther King Jr. Gandhi, Bill Gates, dan Romo Mangun percaya bahwa tidak ada hal yang mustahil. Mimpi menumbuhkan harapan yang kuat yang memacu semangat untuk mengubah hal-hal biasa (keterampilan, kesempatan, pengetahuan, tenaga) menjadi hal-hal yang luar biasa: persamaan hak, kemerdekaan, kekayaan, kesejahteraan orang banyak.<br />Kreativitas. Kreativitas juga bisa mengaktifkan faktor Plus yang dapat mengubah hal-hal biasa menjadi hal-hal luar biasa. Robert T Kiyosakhi, pegusaha dan pengarang buku terkenal Rich Dad Poor Dad berhasil mengubah sebuah buku biasa menjadi buku keuangan berseri yang terlaris di dunia. Di tengah industri buku yang dibanjiri tema misteri, politik, science fiction, sejarah, tips meraih sukses, Kiyosakhi berhasil menawarkan tema berbeda: kebebasan finansial. <br />Michael Dell, sukses mengubah penjualan komputer biasa dengan penjualan yang luar biasa dengan menawarkan proses, dan tempat penjualan yang berbeda. Jika perusahaan lain menjual berbagai jenis komputer di toko-toko atau show room, Dell menawarkan komputer melalui internet yang pemesanannya bisa dilakukan tanpa batasan waktu. Jika perusahaan lain menjual jenis-jenis yang sudah ditentukan oleh perusahaan tersebut, maka Dell menawarkan komputer dengan spesifikasi yang bisa ditentukan sendiri oleh calon pembeli. <br />Pikiran Positif. Pikiran positif juga merupakan kekuatan yang dahsyat dalam mengaktifkan faktor Plus. Pikiran positif memancarkan gelombang optimisme, dan antusiasme yang dahsyat ke dalam dunia sekitar, sehingga dapat mengaktifkan sikap positif, dan akhirnya membuahkan hasil yang positif pula. Ibu Theresa yang memiliki pikiran positif, tetap bersemangat membantu jutaan orang-orang miskin, walaupun ia sering diejek oleh orang-orang sekitarnya atas usahanya yang dianggap sia-sia. Hasilnya, dengan pikiran yang positif, terpancar pada sikapnya yang positif. Sikap ini akhirnya melahirkan optimisme yang luar biasa pada orang-orang yang hampir mati yang ditangani oleh Ibu Theresa, dan juga orang-orang di sekitar Ibu Theresa, bahkan orang-orang lain di seluruh dunia untuk ikut membantu dan mendukung usaha Ibu yang mulia ini untuk menjadikan dunia menjadi lebih baik dengan kasih yang berlimpah pada kemanusiaan. <br />Pikiran positif juga telah membantu Lance Amstrong, pembalap sepeda terkemuka di dunia, untuk mengalahkan penyakit kanker yang dideritanya. Pikiran ini telah menggerakkan Lance untuk tetap berusaha mencari kesembuhan. Pikiran positif ini juga telah membantu Lance untuk berlatih kembali untuk tampil di kejuaraan juara dunia yang terpaksa ditinggalkannya ketika dalam pengobatan. Hasilnya pun luar biasa: Lance berhasil merebut kembali gelar juara dunia.<br />Ketekunan. Apa yang terjadi jika Thomas Alva Edison menyerah pada kegagalan bereksperimennya yang ke 100 kali? Mungkin saja saat ini kita belum bisa menikmati manfaat bola lampu listrik temuan Edison. Apa yang terjadi jika JK Rowling, pengarang seri novel terlaris dunia: Harry Potter, segera patah semangat ketika menerima banyak penolakan dari sample tulisan yang ia kirim ke berbagai penerbit buku di Inggris? Mungkin saja JK Rowling saat ini masih tidak mempunyai pekerjaan tetap, dan masih hidup dalam kemiskinan sehingga tidak bisa menikmati kesejahteraannya saat ini. Bagaimana pula nasib Helen Keller, Andrea Bocelli, dan Stephen Hawking yang memiliki kekurangan fisik jika mereka langsung menyerah pada kondisi fisik mereka yang berbeda dari orang lain? Bisa jadi dunia tidak pernah membaca, mendengar, dan menikmati karya talenta, dan pemikiran mereka yang luar biasa.<br /><br />Strategi Perubahan <br />Setelah mempelajari strategi mengaktifkan faktor Plus yang merupakan modal penting untuk mengubah hal biasa menjadi luar biasa, langkah selanjutnya adalah mempelajari strategi yang diambil untuk mengubah hal biasa menjadi luar biasa. <br />Usaha Ekstra. Perbedaan antara biasa dan luar biasa seringkali hanyalah sebatas ketekunan untuk memberikan usaha ”ekstra”: berusaha lebih kuat, bersabar lebih panjang, memberi perhatian lebih besar, dan bertahan dalam kesukaran lebih lama. Ray Kroc, seorang salesman biasa untuk alat-alat pemroses makanan, telah membuktikan bahwa usaha ekstra, perhatian ekstra, dan ketahanan ekstra dalam menghadapi kesukaran telah berhasil mengubah bisnis makanan biasa menjadi bisnis makanan cepat saji luar biasa. Ray Kroc yang baru memulai usahanya di usia pada waktu orang lain sudah siap-siap untuk pensiun, bertekun lebih lama untuk merealisasikan mimpinya. Ia juga memberikan perhatian yang lebih besar pada tiap klien yang dikunjunginya, hingga akhirnya ia bertemu dengan dua bersaudara McDonald yang memiliki bisnis restoran yang menawarkan hanya humburger. Untuk mendapat perhatian McDonald bersaudara ini, iapun berkali-kalli mengadakan pendekatan agar diterima menjadi manajer pemasaran di restoran ini. Setelah berkali-kali gagal, ketekunannya yang ekstra kuat ini membuahkan kerja sama yang menguntungkan. Akhirnya, dengan ketekunan ekstra, ditambah dengan kerja keras, dan perhatian ekstra, Ray Kroc berhasil membeli dan mengembangkan bisnis restoran biasa McDonald menjadi bisnis waralaba yang mendunia.<br />Cara Berbeda. Sesuatu yang biasa bisa menjadi luar biasa karena berbeda dari yang biasa. Perbedaan bisa saja dilihat dari tempat, kemasan, teknologi, ataupun proses pembuatannya. Jeff Bezos menjual buku-buku biasa yang juga dijual di toko-toko buku lainnya, dengan cara yang berbeda: melalui internet, sehingga bisa dibeli kapan saja, dari mana saja tanpa harus meluangkan waktu pergi ke toko buku. Penjualan ”teh manis” biasa pun berhasil diubah oleh perusahaan Sosro untuk menjadi teh ”luar biasa” dalam kemasan botol dan kotak yang lebih praktis untuk dibawa dan lebih mudah serta lebih cepat untuk disajikan. <br />Ted Turner bersama televisi berita dunia CNN berhasil menawarkan berita ”biasa” yang juga ditawarkan oleh stasiun televisi lain dengan teknologi yang berbeda, sehingga berita bisa disajikan ”live”, bukan siaran tunda seperti yang dilakukan oleh kebanyakan stasiun televisi pada waktu itu. Perusahaan Virgin Air, menawarkan jasa transportasi udara ”biasa” seperti juga yang ditawarkan oleh perusahaan penerbangan lain. Perbedaannya ada pada jarak tempuh (lebih pendek), jenis pesawat (lebih kecil), dan harga (lebih murah). Hal ini juga terjadi pada sejumlah perusahaan penerbangan swasta di Indonesia, yang menawarkan jasa penerbangan biasa, dengan harga yang berbeda (lebih murah), sehingga perusahaan ini menjadi perusahaan yang pertumbuhan penumpangnya ”luar biasa” dalam waktu singkat.<br />Tujuan Mulia. Jika kita bekerja untuk tujuan yang melebihi nilai uang semata (tujuan yang mulia, tidak sekedar tujuan bisnis), maka hasil yang akan kita peroleh juga akan melebihi nilai uangnya. ”Kasihi semua, layani semua,” inilah motto yang mendorong Isaac Tignett, pendiri Hard Rock Cafe untuk mengembangkan bisnis cafenya. Motto yang merupakan tujuannya berbisnis inilah yang akhirnya membantu Tignett untuk merekrut orang-orang memiliki tujuan yang sama untuk membangun bisnis cafe biasanya menjadi ”kerajaan” Hard Rock Cafe yang sekarang ini sudah mendunia, dan berkembang ke industri perhotelan. <br />Tujuan mulia yang sama, melayani semua orang dengan memberi pendidikan dan informasi yang berharga bagi orang lain dalam kemasan kompak yang mudah dibawa ke mana-mana, juga telah mendasari bisnis penerbitan majalah Reader’s Digest yang telah dirintis De Witt dan Lila Wallace. Walaupun sampel majalah yang mereka kirim ke ratusan penerbit ditolak, dengan tujuan yang mulia tersebut, De Witt dan Lila Wallace tidak putus asa, mereka berhasil menerbitkan sendiri majalah Reader’s Digest. Dengan penerbitan perdana sebanyak 5.000 eksemplar saja, De Witt dan Lila Wallace dalam waktu beberapa tahun saja bisa mengangkat oplah menjadi jutaan eksemplar. Saat ini, majalah itu telah diterbitkan di beberapa negara dalam berbagai bahasa. <br />Osealo McCarthy wanita bersahaja keturunan Afrika yang menjadi warga negara Amerika Serikat ini mendedikasikan seluruh tabungannya yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai penyetrika baju untuk membantu anak-anak kurang mampu mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Upayanya ini telah memberi inspirasi bagi banyak orang untuk melakukan hal-hal biasa untuk tujuan yang luar biasa sehingga hasilnya juga luar biasa. <br />Pada dasarnya hal luar biasa bisa dihasilkan dari hal-hal yang biasa. Hal ini tidak hanya bisa dilakukan oleh orang-orang sukses, tetapi juga oleh orang-orang biasa seperti kita semua. Tetapi, tentu saja ada syaratnya, yaitu: mengaktifkan faktor Plus yang ada dalam diri kita masing-masing. Faktor ini bisa diaktifkan jika kita memiliki mimpi, kreativitas, pikiran positif, dan ketekunan. <br />Setelah semua ini kita miliki dan aktifkan, langkah berikutnya adalah: mendedikasikan usaha ekstra, melakukan cara yang berbeda, dan melakukan semuanya dengan tujuan yang mulia. Jika hal-hal tersebut telah berhasil kita terapkan, pastilah hal-hal biasa yang kita miliki (pengetahuan biasa, keterampilan biasa, fasilitas biasa, pekerjaan biasa, dan bisnis biasa), bisa kita ubah menjadi hal-hal yang istimewa, yang berguna bagi banyak orang, dan tentunya juga mendatangkan kepuasan dan keuntungan bagi kita sendiri. Selamat mencoba.n<br /> <br /><br />AMIEEEEN!!!macanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-91441161071734150292009-01-19T02:38:00.001-08:002009-01-19T02:41:21.611-08:00MENJADI MAHASISWA SUKSESTips Menjadi Mahasiswa Sukses <br />by Romi Satria Wahono <br />Anda mahasiswa yang luntang-luntung kurang kerjaan? Sudah mulai mual ndengerin kuliah pak dosen? Mulai bete dengan suasana kos-kosan? Apalagi teman dekat sudah mulai pindah kos karena nggak tahan anda utangin terus hehehe. Pingin teriak sekeras-kerasnya tapi takut ditimpukin tetangga? Atau dulu punya mimpi pingin ikut mbangun republik tercinta, tapi jangankan itu, mbangun diri sendiri saja susah bo :) Apa salah jurusan yah? Padahal dulu dah baca-baca tulisan tips dan trik memilih jurusan. Bingung karena nggak dapat apa-apa di universitas. Jadi makin terseok-seok dan tanpa ruh kalau baca tulisan tentang jenis mahasiswa. Hmmm … coba deh ikuti tulisan ini, siapa tahu ada tips yang cocok dan bisa bikin semangat bangkit.<br />1. Bangun tidur, berdiri di depan kaca, ucapkan bahwa andalah yang terbaik di kos-kosan ini (Ya soalnya anda sendirian sekarang :D) Kalau anda merasa itu kurang, ucapkan bahwa andalah yang terbaik di kelas anda atau terganteng di kampus anda. Yakinilah bahwa anda adalah manusia pilihan, paling tidak terpilih sebagai wakil desa anda yang bisa kuliah di universitas ini. Atau kalau lebih pede lagi, bilang bahwa andalah makhluk terbaik di muka bumi, ya memang benar, paling tidak dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan <br />2. Mandi yang bersih, sisir dan rapikan rambut anda. Ambil handphone, bikin senyuman paling manis, foto wajah anda. Ulangi lagi kalau masih kurang enak dilihat. Kalau sampai 10 kali jepretan masih juga kurang enak di lihat, ambil secara acak saja. Mungkin wajah anda memang tidak terlalu enak dilihat <br />3. Nyalakan komputer, akses internet, nggak usah ke mana-mana, langsung saja buka http://wordpress.com. Buat account blog di sana.<br />4. Renungi hidup anda, ingat-ingat lagi perjalanan hidup dari kecil sampai sekarang dan apa yang telah anda lakukan. Masuk ke menu administrasi http://wordpress.com, klik Write->Page. Buat tulisan dengan judul About Me, tuliskan resume, kisah hidup dan Curriculum Vitae (CV) anda. Tuliskan “apa saja” seluruh kegiatan anda di sana. Dari lahir, SD, SMP, SMA dan kuliah. Pernah jadi ketua OSIS, sekretaris, bendahara atau pesuruh OSIS? Atau pernah ikutan nyembelih kambing kurban, pernah jadi penjaga masjid, pernah bikin workshop komputer, pernah menang lomba balap karung, cerdas cermat atau lomba gambar di kampung. Tulis semuanya. Kerahkan seluruh ingatan anda, anggap saja nostalgia. Sekali lagi, tulis semua, apapun yang anda lalui di “Page” berjudul About Me tadi. Sudah puas? Klik “Publish“. Kalau ada yang kurang tambahi lagi, kalau merasa halaman itu nggak cukup dan harus tulis dalam OO Writer atau MS Word, copy and paste saja draft tadi. Jangan lupa convert ke PDF dan upload di halaman About Me. Perbaiki terus CV anda setiap ada kegiatan yang anda lakukan, sekecil apapun. Beri juga skrinsyuut kalau diperlukan. Oh ya, foto manis anda tadi jangan lupa dipasang di halaman About Me, kalau pingin contoh, termasuk gimana nempatan CV versi PDF cek di sini deh <br />5. Sekarang ayok berdiri, jalan ke meja belajar anda. Kenangi kehidupan kampus anda, senangnya ketika diterima di universitas ini, semangatnya ikutan ospek (atau apa ya namanya sekarang?), dosen-dosen anda yang baik dan menyenangkan, nilai mata kuliah anda yang naik turun (yang pasti lebih banyak turunnya ;)), dan mungkin juga teman-teman mahasiswi anda yang sudah menolak cinta anda Kenang semua. Olala, ada kenangan manis disaat anda berjaya dengan satu mata kuliah yang anda senangi, dosennya juga maknyus kalau ngajar, dan anda akhirnya anda mendapatkan berkah nilai A diantara tumpukan nilai C, D dan E.<br />6. Mata kuliah apa itu ya, yang dulu anda senangi? Cari buku catatan anda, obrak abrik meja belajar untuk nyari buku textbook mata kuliah itu. Ketemu? Oalah anda ternyata jagoan Rekayasa Perangkat Lunak. Ok sekarang lihat lagi tulisan di buku catatan anda yang sudah lusuh. Cocokan dengan buku textbook. Sekarang tulis kenangan anda tentang mata kuliah Rekayasa Perangkat Lunak itu. Jangan tulis yang lain, konsentrasi saja ke satu mata kuliah itu. Tulisan apapun asal berhubungan dengan Rekayasa Perangkat Lunak. Satu topik tulisan cukup 4-6 paragraf saja, jangan kepanjangan. Kalau belum puas, buat lagi topik lain, batasi juga 4-6 paragraf. Nulisnya di Write->Post lho ya, jangan lupa.<br />7. Kurang bahan? Dulu kayaknya pernah pinjem buku bagus tentang Rekayasa Perangkat Lunak di perpustakaan? Ok, kebetulan dah masuk waktu dhuhur dan makan siang. Jangan lupa mampir dulu untuk sholat dhuhur di masjid samping kos-kosan, dan makan siang di warteg andalan. Ok, genjot sepeda ke kampus, langsung ke perpus. Cari buku kenangan anda tadi. Juga cari banyak berita dan tulisan populer tentang software dan metode pengembangan. Kalau perpus ada internet, balik lagi ke http://wordpress.com anda. Lanjutkan tulisan-tulisan anda.<br />8. Ops nggak terasa sampai maghrib di perpus. Sholat, makan malam dan pulang. Ingat-ingat deh dulu kayaknya pernah ngerjain Tugas Mandiri berhubungan dengan software? Ok kumpulin file-filenya yuk. Dari mata kuliah apa saja lah, bisa Rekayasa Perangkat Lunak, Dasar Pemrograman, Pemrograman berorientasi Obyek, atau apapun. Kalau ada program yang dulu dibuat juga kumpulin. Dibahas saja program yang pernah dibuat, sekaligus dibagi gratis tuh codenya. Walah bisa jadi satu kategori baru tuh di blog <br />9. Sebelum tidur, baca bismillah, dan ucapkan syukur hari ini anda sudah melakukan kegiatan yang sangat baik dan produktif, kegiatan yang bisa membanggakan orang tua, teman, tetangga, dan dosen anda. Dan Insya Allah bisa menjadi bekal kontribusi anda ke republik tercinta ini.<br />10. Bangun pagi, nggak usah kebanyakan tidur, anda bukan bayi lagi Sholat shubuh dan lanjutkan petualangan hidup anda.<br />11. Sebelum masuk kuliah baca-baca buku dulu deh, hari ini pak dosen mau ngajari apa, siapa tahu bisa jadi bahan tulisan. Kalau ada waktu pagi bikin resume atau rangkuman bab yang pak dosen akan ajar. Insya Allah saya jamin anda akan masuk ke kelas dengan suasana yang berbeda. Anda tidak lagi tidur. Horeeee! Lho kok bisa, ya soalnya anda jadi pingin konfirmasi ke pak dosen, yang anda pahami dari rangkuman tadi bener nggak. Dan anda akan nyimak karena anda berharap bisa jadi bahan tulisan. Ada kemungkinan anda akan lebih pinter dari pak dosen, karena kadang saking sibuknya ngerjain proyek, pak dosen kadang lupa belajar … hihihi. Kalau ada pertanyaan yang nggak bisa dijawab pak dosen, anda angkat tangan saja, bilang bahwa pernah mengupas tuntas masalah itu, sebutkan URL blog anda. Bantu dosen anda jawablah, siapa tahu malah nanti diminta bantu dosen ngerjain proyek atau malah jadi asisten dosen. Cuman jangan galak-galak sama adik kelas yah, jaman dosen bangga karena nggak ngelulusin mahasiswa sudah kuno. Yang trend sekarang dosen gaul, kayak si broer sang dosen flamboyan (ngajar di semua kampus di jakarta bo) dan mbah IMW dari gundar <br />12. Lanjutkan perdjoeangan. Mudah-mudahan semester ini tumpukan nilai A anda semakin banyak. Dan Insya Allah saya jamin, anda tidak akan kesulitan ngerjain skripsi atau TA di semester akhir. Kok bisa? Ya, anda sudah terbiasa banyak baca dan nulis, ini modal penting bikin skripsi. Logikanya kalau anda banyak nulis, pasti banyak baca tho Jangan lupa untuk submit artikel-artikel anda di IlmuKomputer.Com, prosedurnya ada di sini nih. Ini penting karena kabarnya numpang nampang di IlmuKomputer.Com bisa bawa hoki, bisa dapat jodoh, pekerjaan, project atau ketularan gemuk dari foundernya. Yang pasti bisa bantu ningkatin traffic blog anda <br />13. Kalau kebiasaan 1-12 anda lakukan sampai anda lulus, Insya Allah anda tidak akan kesulitan mencari pekerjaan. Justru pekerjaan yang akan mencari anda. Tulisan-tulisan anda di blog sudah di-indeks oleh banyak mesin mencari. Bahkan mungkin kalau orang googling dengan keyword “Rekayasa Perangkat Lunak Indonesia“, yang muncul nomor satu adalah blog anda. Anda nggak perlu bawa CV ke mana-mana karena anda sudah tulis di blog anda. Tentu anda akan semakin surprise kalau ada penerbit yang nawarin membukukan tulisan-tulisan Rekayasa Perangkat Lunak yang anda telateni selama ini. Kesempatan jadi dosen bukan mimpi lagi, lha wong yang nulis bukunya anda je. Wajar tho sekalian ngajar ;) Malah anda mungkin sudah ditokohkan oleh masyarakat Indonesia di bidang Rekayasa Perangkat Lunak? Amiiin. Cuman jangan sombong, sombong itu temannya setan <br />14. Akhirnya, alhamdulillah anda telah sukses melewati kehidupan mahasiswa anda dengan baik. Bukan karena siapa-siapa, tapi karena perdjoeangan anda sendiri, karena tangan anda sendiri, dan tentu saja pertolongan dari yang DIATAS. Jangan lupa, tetap lanjutkan perdjoeangan di kehidupan baru.<br /><br />MUDAH2AN U JADI MAHASISWA YANG SUKSES YA??!macanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-89483044430228773812009-01-19T02:30:00.000-08:002009-01-19T02:32:06.795-08:00MEMBENTUK KEPRIBADIAN MELALUI INTERAKSI SOSIALhttp://geibreil7.blogspot.com/2008/05/membentuk-kepribadian-melalui-interaksi.htm MEMBENTUK KEPRIBADIAN MELALUI INTERAKSI SOSIAL <br />MEMBENTUK KEPRIBADIAN MELALUI INTERAKSI SOSIAL<br /><br />Apa yang didapatkan dari lingkungan sosialnya menjadi modal utama bagi pembentukan kepribadiannya kelak. Dalam hal ini, bagaimana pengaaruh lingkungan keluarga, masyarakt dan kebudayaan?<br /><br /><br />Telah menjadi rahasia umum bahwa manusia adalah mahluk yang unik. Munculnya anggapan seperti itu karena berdasarkan suatu realita, bahwa tidak ada manusia yang memiliki kepribadian yang sama. Sehingga hal itulah yang kadang-kadang menimbulkan kesulitanuntuk mengerti kepribadian seseorang. Namun jika ditelusuri lebih jauh bagaimana sesungguhnya pembentukan kepribadian seseorang, maka hal itu bukanlah merupakan sesuatu yang aneh.<br />Pembentukan kepribadian seseorang merupakan hasil perpaduan dari berbagai faktor yang saling terkait satu dengan yang lainnya, dengan berbagai proses pendukungnya. Salah satu faktor yang memegang peranan penting di dalam hal ini adalah interaksi sosial. Karena pada dasarnya manusia selama hidupnya mengalami interaksi sosial, yang memungkinkan manusia yang bersangkutan berkembang. Lalu apakah sesungguhnya yang diseut dengan interaksi sosial.<br />W.A. Gerungan merumuskannya sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih individu. Dimana pribadi individu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki prilaku individu yang laian, atau sebaliknya. (W.A. Gerungan, Psikolgi Sosial, 1978). Dengan pengertian tersebut, akan memudahkan kita untuk memahami pembahasannya lebih lanjut.<br />Jika ditelusuri sejarah kehidupan seseorang, akan semakin nyatalah peranan interaksi sosial di dalam rangkan pembentukan kepribadiannya. Sifat-sifat kemanusiaan manusiapun terbentuk melalui interaksi sosial. Karena di dalamnya terkandung unsur-unsur manusiawi dengan lingkungan manusiawi. Proses berlangsung kait-mengait, dengan tahapan-tahapan sistematis.<br />Prosesnya bermula dari lingkungan keluarga, yang berlanjut di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan maupun di dalam lingkungan pergaulan yang lebih luas. Untuk memperjelas bagaimana sesungguhnya kepribadian individu, akan dijelaskan secara terperincibagaimana proses berlangsungnya.<br />1. Interaksi Sosial di dalam Keluarga<br />Keluarga merupakan basis pertama dan utama dalam berbagai rangkaian proses inteaksi sosial yang dialami individu selama hidupnya. Hal tersebut dimungkinkan, karena kedudukan keluarga sebagai komponen terkecil dari struktur masyarakat, merupakan tempat pertama bagi individu mengenal manusia lain diluar dirinya. Di samping itu juga di dalam keluargalah anak mulai mengenal peranan dirinya sebagai manusia.<br />Proses terjadinya interaksi sosial di dalam lingkungan keluarga dimulai sejak kelahiran. Saat anak mulai merasakan dunia lain dari dunia kandungan yang selama ini dikenalnya sebelum kelahiran. Sedangkan kelahiran itu sendiri merupakan prasyarat bagi seseorang untuk berkembang dan memiliki kepribadian sendiri.<br />Pada tahapan pertama, apa yang diberikan oleh keluarga merupakan potensi-potensi atau kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang. Pada perkembangan lebih lanjut hal tersebut menadapatkan rangsangan dan pengarahan dari lingkungan keluarganya sehingga lebih berkembang.<br />Agar perkembangan yang dicapai dapat berjalan dengan normal dan ideal, peranan keluarga sebagai suatu lingkungan keluarga yang menyediakan segala sarana yang memungkinkan terjadinya perkembangan sangat menentukan.<br />Peranan keluarga yang dimaksud dalam hal ini, tidak hanya menyangkut pemenuhan segala kebutuhan anak yang berwujud materi, tetapi juga menyangkut pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosiaologis. Bahkan dua kebutuhan tersebut seharusnya mendapatkan porsi yang lebih besar. Karena mengingat pengaruhnya yang cukup besar pada perkembangan selanjutnya yang dialami anak pada masa-masa mendatang.<br />Kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosiologis anak meliputi penghayatan-penghayatan rohani psikis dan sosial yang dialami anak sebagai suasana, sikap pergaulan, antara manusia yang mengikat anak didalam keluarganya, yang kemudian menjadi dasar untuk pergaulannya dengan masyarakat sosial yang lebih luas. Wujud yang nyata dari hal itu dibnerikan dalam bentuk kasih sayang yang memberi anak rasa nyaman., rasa diterima serta rasa diakui keberadaanya. Dengan demikian interakasi sosial yang pertama kali dirasakan anak adalah perlakuan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, terutama dari ibunya. Pada saat anak sepenuhnya tergantung dari kedua orang tuanya untuk memenuhi segala kebutuhannya, baik yang berupa fisik ataupun psikis.<br />Dengan semakin bertambahnya usia anak yang diikuti oleh berfungsinya organ-organ tertentu dari tubuhnya, nteraksi sosial yang dialami anak semakin berkembang. Anak sudah dapat melakukan komunikasi dengan orangtuanya, meskipun masih dalam bentuk-bentuk yang sangat sederhana dan bersifat simbolik. Jawaban-jawaban yang diberikan yang diberikan orang tuanya sebagai pengertian terhadap komunikasi simbolik anak, akan dirasakan sebagai suatu interaksi sosial, sehingga dengan jawaban-jawaban tersebut anak akan menentukan sikap yang dianggap sesuai dengan jawaban orang tuanya.<br />Dengan berfungsinya organ-organ bicara pada anak, komunikasi dengan orang tuanya berkembang dengan penggunaan bahasa, sehingga interaksi sosialpun semakin menampakkan bentuk yang nyata. Anak telah mampu mengungkapkan perasaan yang sebenarnya kepada orangtuanya dan sebaliknya orang tuapun dapat mengerti secara benar perasaan anak. Dalam situasi yang demikian kemungkinan terjadinya hubungan saling pengaruh mempengaruhi antara orang tua dan anak sangat besar.<br />Setelah anak mampu menggunakan kognisinya yang didukung dengan berfungsinya secara sempurna keseluruhan inderanya, anak mulai mengerti wujud yang sebenarnya dari pola-pola interaksi sosial yang berlaku didalam keluarganya.<br />Pengertian anak didalam hal ini, terutama didasarkan paa pengalaman-pengalamannya dengan kedua orang tuanya. Karena itulah keharmonisan hubungan antara suami dan istri sangat diperlukan, sehingga hala itu memberikan suatu gambaran yang baik kepada anak. Keduanya harus mempunyai keseragaman didalam cara dan tekhnik-tekhnik melaksanakan hubungan dengan anak. Hal itu didasarkan pada suatu kenyataan bahwa untuk perkembangan kepribadiannya, anak memerlukan kedua orangtuanya sebagai pembimbing, pendidik serta sebagai pengayon.<br />Sdalah satu faktor yang menentukan terjadinya interaksi sosial adalah faktor identiikasi, khususnya didalam rangka pembentukan ego dan superego anak. Timbulnya identifikasi tersebut didasarkan pada suatu rasa kagum anak terhadap perbuatan orang tuanya bahkan menyamainya. Disamping itu juga timbulnya identifikasi disebabkan usaha anak untuk menghindari hukuman-hukuman yang mungkin diberikan oleh orang tuanya, sehingga anak berusaha mempersatukan dirinya dengan larangan-larangan yang ditentukan oleh orang tuanya. Dengan demikian identifikasi dapat dijadikan alasan mengapa anak-anak cenderung menyerupai orang tua mereka.<br />Jika keluarga dianggap sebagai suatu lingkungan, masyarakat yang kecil, maka peranannya di dalam rangka pembentukan ego sangat menentukan. Jika mengingat bahwa ego merupakan hasil dari tindakan saling mempengaruhi antara lingkungan dengan garis-garis perkembangan yang ditetapkan oleh keturunan. Begitupun di dalam rangka pembentukan superego anak, keluarga memegang peranan yang menentukan. Bahkan dalam dalam rangkan pembentukan superego inilah keluarga sangat menonjol.<br />Superego merupakan kode moral seseorang yang berkembang dari ego, sebagai akibat perpaduan yang dialami anak dengan ukuran orang tuanya mengenai apa yang baikl, apa yang salah, serta apa yang buruk. Dengan memperpadukan kewibawaan tersebut dengan kewibawaan moril orang tuanya, anak akan mengganti kewibawaan tersebut dengan kewibawaannya sendiri. Dengan menuangkan kekuasaan orang tuanya ke dalam batinnya sendiri, anak akan dapat menguasai kelakuannya sesuai dengan keinginan orangtuanya, dan dengan bertindak seperti itu anak akan mendapatkan persetujuan dan mencegah kegusaran mereka.<br />Atau dengan kata lain, anak akan belajar bahwa ia bukan saja harus tunduk kepada prinsip kenyataan untuk mendapatkan kesenangan, tetapi ia juga harus mencoba berkelakuan sesuai dengan perintah-perintah moril dari kedua orangtuanya.<br />2. Interaksi Sosial di dalam Lingkungan Kemasyarakatan<br />Apa yang didapatkan anak dari lingkungan keluarganya sebagai dasar-dasar untuk menjalani interaksi sosial yang lebih kompleks di dalam lingkungan masyarakatnya.<br />Dengan semakin banyaknya manusia yang dikenal anak, menyebabkan pergaulan anak semakin meluas. Akibatnya apa yang diberikan oleh keluarganya sebagai dasar tersebut juga akan lebih berkembang, sehingga hal itu akan lebih menyempurnakan interaksi sosialnya.<br />Anak akan lebih banyak belajar untuk menyesuaikan diri dengan keragaman prilaku yang ditemuinya didalam lingkungan masyarakatnya. Dimana dari penyesuaian diri tersebut, anak mendaptkan pengalaman-pengalaman baru yang menjadi masukan-masukan yang sanagt berharga bagi anak untuk pengemangan kepribadian lebih lanjut. Pengalaman-pengalaman tersebut menjadi dorongan bagi anak untuk lebih mengaktifkan diri menjalani interaksi sosialnya. Akhirnya pengalaman-pengalaman tersebut berubah menjadi simbol-simbolyang memiliki nilai tersendiri bagi anak.<br />Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam interaksi sosial did alam lingkungan sosial kemasyarakatan ini adalah lembaga-lembaga sosial tersebut berperan sebagai suatu respon kulturil dari kebutuhan dasar biologis dan psikologis manusia untuk hidup berkelompok. Juga sekaligus erfungsi sebagai alat untuk mengembangkandiri dan alat yang memberikan batas-batas tertentu, agar segala jenis hubungan antar manusia dipelihara dalam keadaan equilibirium yang dinamis.<br />Disamping itu juga faktor waktu memegang peranan menentukan. Lamanya individu menjalani inteaksi sosialnya, memberikan kesempatan kepada individu untuk bekerjasama dan menemukan pola-pola tingkah laku dan sikap yang bersifat timbal balik, serta menemukan teknik-teknik hidup bersama yang lebih baik.<br />Akibat lebih lanjut terbentuklah integrasi psikologik dan sosiologik di dalam masarakat yang menyebabkan pola, sikap, relasi serta reaksi emosi dari anggota masyarakat cenderung memiliki kesamaan.<br />Kenampakan dari integrasi tersebut akan terlihat sebagai kesamaan-kesamaan kepribadian ari segenap individu yang hidup di dalam lingkungan sosial kemasyarakatan tertentu.<br /><br />3. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Interaksi Sosial<br />Proses terjadinya interaksi sosial, baik didalam lingkungan keluarga maupun di dalam lingkungan sosial kemasyarakatan yang lebih luas, tidak dapat dilepaskan dari pola kebudayaan yang berlaku didalam masyarakat tersebut. Karena lingkungan sosial dan kulturil menetapkan syarat-syarat bagi individu dalam menetapkan bentuk pemuasan kebutuhan yang mungkin dipilih oleh indiidu, termasuk didalamnya interaksi sosial.<br />Hal tersebut sangat mempengaruhi mekanisme kerja dari ego sebagai pembuat keputusan. Ego berkewajiban menetapkan bentuk tingkah laku penyesuaian sebaik-baiknya dan sesuai dengan pola-pola kebudayaan yang berlaku, sehingga apa yang diputuskan sebagai pemuasan kebutuhan akan baik baginya dan juga bagi lingkungan masyarakatnya yang lebih luas. Atau dengan perkataan lain, kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, serta menentukan sikap jika berhubungan dengan orang lain. Karena keduanya sebenarnya merupakan perwujudan atau abstraksi dari pada prilaku manusia dengan kepibadia sebagai latar belakangnya.<br />Demikianlah dengan mengerti bagaimana proses serta pengauh yang nyata dari interaksi sosial terhadap pembentukan kepribadian seseorang, diharapkan kita dapat mengerti kepriadian individu secara tepat dengan segala keunikannya. Sehingga dengan demikian diharapkan kita dapat menentukan sikap yang sesuai dengan kepribadian seseorang. Hal mana akan menentukan keberhasilan kita<br />DI BACA YA ERRRRRR??!macanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-62186843612391993752009-01-19T02:17:00.000-08:002009-01-19T02:19:25.412-08:00MBSMANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH<br />1. Pengantar<br /><br />Telah banyak usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan, hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. <br />1. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.<br /><br />2. Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.<br /><br />3. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas.<br /><br />Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan reorientasi penyelengaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasisi Sekolah (School Based Management).<br />2. Faktor Pendorong Perlunya Desentralisasi Pendidikan<br /><br />Saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan1. Beberapa perubahan tersebut antara lain,<br />1. Orientasi manajemen yang sarwa negara ke orientasi pasar. Aspirasi masyarakat menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan yang timbul.<br /><br />2. Orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi. Pendekatan kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis.<br /><br />3. Sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.<br /><br />4. Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi negara yang sudah tidak jelas lagi batasnya (boundaryless organization) akibat pengaruh dari tata-aturan global. Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan global.<br /><br />Fenomena ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Disamping itu membawa dampak ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi2 terinci sbb.:<br />• tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.<br />• anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.<br />• ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.<br />• penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat<br />• tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.<br /><br />Desentralisasi pendidikan, mencakup tiga hal, yaitu;<br />1. manajemen berbasis lokasi (site based management).<br /><br />2. pendelegasian wewenang<br /><br />3. inovasi kurikulum.<br /><br />Pada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekwensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Pada kurikulum 2004 yang akan diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal. Daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus (GBPP) nya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.<br /><br />Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan Zimbabwe3.<br /><br />Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional.<br /><br />Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.4<br />3. Konsep Dasar MBS<br /><br />Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.<br />4. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)<br /><br />Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Ciri-ciri MBS, bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan SDM, proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:<br />Ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS<br /><br /> <br /><br />*) Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempunyai tiga komponen yang harus dimilikinya, yaitu:<br />• memiliki kharisma yang didalamnya termuat perasaan cinta antara KS dan staf secara timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya dalam bekerja<br />• memiliki kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya<br />• memiliki kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual terhadap staf. KS mampu mempengaruhi staf untuk berfikir dan mengembangkan atau mencari berbagai alternatif baru.5<br /><br />Dengan demikian, MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tapi masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Tetapi semua ini harus mengakibatkan peningkatan proses belajar mengajar. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab (high responsibility), kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih (more authority) serta dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh yang ber-kepentingan/tanggung gugat (public accountability by stake holders).<br /><br />Secara ringkas perubahan pola manajemen pendidikan lama (konvensional) ke pola baru (MBS) dapat digambarkan sebagai berikut:<br /><br /> <br /><br />Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut:<br />• menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut<br /><br />• mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan “input” pendidikan yang akan dikembangkan<br /><br />• mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya<br /><br />• bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelengaraan sekolah<br /><br />• persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.<br /><br />Hasil rumusan yang dihasilkan peserta kemungkinan sangat banyak dan bervariasi. Pada akhir diskusi, fasilitator bersama-sama peserta mencoba mengklasifikasi dan menggabungkan rumusan yang sejenis sehingga diperoleh ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah. Misalnya:<br />• Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah<br /><br />• Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.<br /><br />• Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas)<br /><br />• Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.<br /><br />• Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat.<br /><br />• Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.<br /><br />• Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.<br /><br />• Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll).<br /><br />• Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.macanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-26320891879891299632009-01-18T21:58:00.000-08:002009-01-18T22:00:05.065-08:00Mempertahankan (bahkan meningkatkan) motivasi diri<br />Filed under: Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Aspirasi, Kiat, Topik Personal<br /><br />children_of_heavenFilm Children of Heaven adalah salah satu film yang mengesankan saya. Film dari Iran ini bercerita tentang kakak beradik dari keluarga miskin, Ali dan Zahra, yang berusaha memecahkan masalah mereka bersama : sepatu si adik hilang, mereka takut bilang ke orang tua, lalu mereka bergantian pakai sepatu si kakak untuk pergi ke sekolah. Berhari-hari mereka terpaksa berlari-lari demi bisa bergantian sepatu tepat waktu agar tidak terlambat sampai sekolah. Ada banyak masalah karena hal itu, Zahra yang malu dengan sepatu gembel buruk rupa milik Ali, sepatu hanyut di selokan, Ali yang dimarahi pengawas sekolah karena datang terlambat, dan lain-lain masalah.<br /><br />Pemecahan masalah muncul ketika ada lomba lari anak-anak yang berhadiah sepatu untuk juara ke-tiga. Ali akhirnya lolos boleh ikut lomba tersebut mewakili sekolahnya. Diam-diam Ali mengincar juara ke-tiga demi hadiah sepatu. Tak disangka dia menjadi juara satu. Ali justru menangis, karena gagal mendapat hadiah sepatu!<br /><br />Film ini diputar untuk memberi pengertian tentang motivasi kepada sekelompok siswa SMP di Yayasan Pupuk Kaltim Bontang. Pertanyaan yang diajukan kepada adik-adik tersebut : “Mengapa Ali ingin menjadi juara ke-3?” Mereka menjawab, “Ingin dapat hadiah sepatu.” “Apa yang membuat Ali menjadi sangat bersemangat bahkan ngotot untuk meraih hadiah sepatu dalam lomba lari tersebut?” Adik-adik remaja itu diam. Saya jawab, “Karena dia membela adiknya.”<br /><br />Cuplikan kisah film itu menunjukkan dua hal penting :<br /><br /> 1. seseorang bisa merancang strategi kalau sudah jelas apa yang ia tuju (dalam hal ini Ali berstrategi menjadi juara 3 demi hadiah sepatu). Apa yang dia tuju itu adalah ‘visi’.<br /> 2. Seseorang akan membuat’visi’ dan bersemangat kuat untuk meraih ‘visi’ itu kalau dia mempunyai SESUATU YANG DI’BELA’ (dalam kisah itu Ali membela adik yang sangat disayangnya, karena itu ‘energi’ semangat dia melejit tinggi jauh melampaui peserta lomba lainnya).<br /><br />Seringkali kita merasa kehilangan semangat, atau turun semangat dalam bekerja, belajar, maupun berusaha. Sumber utama penurunan tersebut karena kita tidak sunguuh-sungguh membela sesuatu. Orang yang bekerja dengan kesadaran sedang ‘membela’ keluarganya (istri dan anak), pasti lebih bermotivasi dibandingkan yang sekedar bekerja untuk mengisi waktu. Siswa yang belajar dengan kesadaran sedang membela masa depan diri dia sendiri, tentu lebih bermotivasi dibandingkan yang cuma sekedar mengikuti kelaziman bersekolah. Dalam buku Quantum Learning, awal dari pembelajaran yang berhasil adalah sebuah pertanyaan, yaitu AMBAK : Apa Manfaatnya ini BAgi Ku? Sebenarnya esensi dari hal itu adalah mencari relevansi dari apa yang akan dilakukan (belajar misalnya) dengan kepentingan ‘membela sesuatu’(dalam hal ini adalah diri sendiri).<br /><br />Jadi resep tetap bersemangat adalah : ‘bela’lah sesuatu. Dan yang terutama adalah bela dirimu sendiri, untuk dunia maupun akhirat!macanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5037511933410894668.post-27717771874904550842009-01-13T19:29:00.000-08:002009-01-14T22:18:31.497-08:00Hakekat Belajar<h5 style="text-align: justify;" class="post-title entry-title"><span style="font-size:75%;">Sebelum membahas masalah prinsip belajar dan pembelajaran sangatlah perlu dipahami terlebih dahulu konsep belajar. Apakah belajar itu ?. Menurut Gagne (1984: ) belajar didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman. Galloway dalam Toeti Soekamto (1992: 27) mengatakan belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sedangkan Morgan menyebutkan bahwa suatu kegiatan dikatakan belajar apabila memiliki tiga ciri-ciri sebagai berikut.<br /><br />* belajar adalah perubahan tingkahlaku;<br />* perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena pertumbuhan;<br />* perubahan tersebut harus bersifat permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama<br /><br />Berbicara tentang belajar pada dasarnya berbicara tentang bagaimana tingkahlaku seseorang berubah sebagai akibat pengalaman (Snelbeker 1974 dalam Toeti 1992:10) Dari pengertian di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa agar terjadi proses belajar atau terjadinya perubahan tingkahlaku sebelum kegiatan belajar mengajar dikelas seorang guru perlu menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada siswa dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Proses belajar itu terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri siswa,agar proses belajar tersebut mengarah pada tercapainya tujuan dalam kurikulum maka guru harus merencanakan dengan seksama dan sistematis berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan perubahan tingkahlaku siswa sesuai dengan apa yang diharapkan. Aktifitas guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal disebut dengan kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain pembelajaran adalah proses membuat orang belajar. Guru bertugas membantu orang belajar dengan caramemanipulasi lingkungan sehingga siswa dapat belajar dengan mudah, artinyaguru harus mengadakan pemilihan terhadap berbagai starategi pembelajaranyang ada, yang paling memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal. Dalam pembelajaran proses belajar tersebut terjadi secara bertujuan ( Arief Sukadi 1984:8) dan terkontrol. Tujuan -tujuan pembelajaran telah dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku. Peran guru disini adalah sebagai pengelola proses belajar mengajar tersebut<br /><br />Dalam sistem pendidikan kita (UU. No. 2 Tahun 1989), seorang guru tidak saja dituntut sebagai pengajar yang bertugas menyampaikan materi pelajaran tertentu tetapi juga harus dapat berperan sebagai pendidik. Davies mengatakan untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik seorang guru perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman berbagai prinsip-prinsip belajar, khususnyai prinsip berikut :<br /><br />* Apapun yang dipelajari siswa , maka siswalah yang harus belajar, bukan orang lain. Untuk itu siswalah yang harus bertindak aktif;<br />* Setiap mahasiswa akan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya;<br />* Seorang siswa akan belajar lebih baik apabila mempengoreh penguatan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selama proses belajarnya terjadi;<br />* Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan mahasiswa akan membuat proses belajar lebih berarti; dan<br />* Seorang siswa akan lebih meningkat lagi motivasinya untuk belajar apabula ia diberi tangungjawab serta kepercayaan penuh atas belajarnya (Davies 1971).<br /><br />Belajar, Mengajar dan Pembelajaran<br /><br />Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar, mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas Duffy dan Roehler (1989) mengatakan apa yang dilakukan guru agar proses belajar mengajar berjalan lancar, bermoral dan membuat siswa merasa nyaman merupakan bagian dari aktivitas mengajar, juga secara khusus mencoba dan berusaha untuk mengimplementasikan kurikulum dalam kelas. Sementara itu pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum. Jadi pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan kurikulum. Dalam buku pedoman melaksanakan kurikulum SD,SLTP dan SMU (1994) istilah belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku setelah terjadinya interaksi dengan sumber belajar. Sumber belajar tersebut dapat berupa buku, lingkungan, guru dll. Selama ini Gredler (1986) menegaskan bahwa proses perubahan sikap dan tingkahlaku itu pada dasarnya berlangsung pada suatu lingkungan buatan (eksperimental) dan sangat sedikit sekali bergantung pada situasi alami (kenyataan). Oleh karena itu lingjungan belajar yang mendukung dapat diciptakan, agar proses belajar ini dapat berlangsung optimal.<br /><br />Dikatakan pula bahwa proses menciptakan lingkungan belajar sedemikian rupa disebut dengan pembelajaran. Belajar mungkin saja terjadi tanpa pembelajaran, namun pengaruh suatu pembelajaran dalam belajar hasilnya lebih sering menguntungkan dan biasanya mudah diamati. Mengajar diartikan dengan suatu keadaan untuk menciptakan situasi yang mampu merangsang siswa untuk belajar. Situasi ini tidak harus berupa transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa saja tetapi dapat dengan cara lain misalnya belajar melalui media pembelajaran yang sudah disiapkan. Gagne dan Briggs (1979:3) mengartikan instruction atau pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Sepintas pengertian mengajar hampir sama dengan pembelajaran namun pada dasarnya berbeda. Dalam pembelajaran kondisi atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh perancang atau guru. Sementara itu dalam keseharian di sekolah-sekolah istilah pembelajaran atau proses pembelajaran sering dipahami sama dengan proses belajar mengajar dimana di dalamnya ada interaksi guru dan siswa dan antara sesama siswa untuk mencapai suatu tujuan yaitu terjadinya perubahan sikap dan tingkahlaku siswa. Apa yang dipahami guru ini sesuai dengan pengertian yang diuraikan dalam buku pedoman kurikulum (1994:3).<br /><br />Sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakat yang memberinya masukan maupun menerima keluaran tersebut. Pembelajaran mengubah masukan yang berupa siswa yang belum terdidik menjadi siswa yang terdidik. Fungsi sistem pembelajaran ada tiga yaitu fungsi belajar, fungsi pembelajaran dan fungsi penilaian. Fungsi belajar dilakukan oleh komponen siswa, fungsi pembelajaran dan penilaian ( yang terbagi dalam pengelolaan belajar dan sumber-sumber belajar) dilakukan oleh sesuatu di luar diri siswa (Arief,S. 1984:10). Sebenarnya belajar dapat saja terjadi tanpa pembelajaran namun hasil belajar akan tampak jelas dari suatu pembelajaran. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan berlangsungnya proses belajar dalam diri siswa. Seseorang dikatakan telah mengalami proses belajar apabila dalam dirinya terjadi perubahan tingkah laku dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa dan sebagainya. Dalam pembelajaran hasil belajar dapat dilihat langsung, oleh karena itu agar kemampuan siswa dapat dikontrol dan berkembang semaksimal mungkin dalam proses belajar di kelas maka program pembelajaran tersebut harus dirancang terlebih dahulu oleh para guru dengan memperhatikan berbagai prinsip-prinsip pembelajaran yang telah diuji keunggulannya.</span></h5>Semoga Bermanfaatmacanhttp://www.blogger.com/profile/12450183688094443728noreply@blogger.com0