23.49

INVESTIGASI KONSEP PLURALISME KEAGAMAAN DAN LOYALITAS MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA DI SULAWESI UTARA

INVESTIGASI KONSEP PLURALISME KEAGAMAAN DAN
LOYALITAS MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA
DI SULAWESI UTARA

PENDAHULUAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap secara empiris pengaruh status sosial
dan ekonomi, partisipasi keagamaan, konsep pluralisme keagamaan, kebutuhan masyarakat
Muslim dan Kristen kepada tokoh agama, dan karisma tokoh agama terhadap loyalitas
masyarakat kepada mereka di Sulawesi Utara. Disamping itu, penelitian ini bermaksud
mengungkap pengaruh modernitas yang diekspresikan dalam indikator tempat domisili
(pedesaan atau perkotaan) terhadap tingkat partisipasi keagamaan masyarakat, pola konsep
pluralisme keagamaan, kebutuhan masyarakat kepada tokoh agama, karisma tokoh agama,
dan loyalitas masyarakat kepada tokoh agama; sekaligus mencoba menguji pengaruh
perbedaan agama (Islam dan Kristen) dalam empat model atau hipotesis yang diuji
berdasarkan perbedaan konsep pluralisme terhadap lima variabel tersebut di Sulawesi Utara.
LATAR BELAKANG/SIGNIFIKANSI
Masyarakat beragama di era global sekarang menghadapi tantangan mendasar
termasuk masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa beragama. Tatanan global dunia
tidak memperkecualikan masyarakat Indonesia dari pengaruh nilai-nilai modernisme yang
bertumpu pada rasionalisme dan demokrasi liberal sekuler yang berimplikasi pada tuntutan
pembentukan masyarakat atau negara yang dikelola lewat suatu sistem mekanistis dan efektif.
Nilai-nilai ini telah melahirkan struktur keterpisahan antara domain negara dan agama secara
formal dalam masyarakat Barat yang pada akhirnya menyebabkan pengalihan kekuasaan
gereja ke tangan masyarakat sekuler dalam sistem bangsa-negara. Dapat dibayangkan bahwa
dalam struktur sosial politik seperti itu pola dan karakter hubungan antara tokoh atau tokoh
agama dan masyarakat mengalami perubahan dimana masyarakat moderen tidak lagi
merasakan ketergantungan tinggi pada simbol-simbol kekuasaan agama atau tokoh-tokoh
agama sebagaimana yang terjadi pada masa pra-modernisme (Giddens, 2001). Namun
demikian, pemisahan agama dan negara di Barat tidak selamanya berimplikasi pada totalitas
penggusuran simbol-simbol agama dari kehidupan sosial politik (Hawley, 2003). Nilai-nilai
liberal rasional yang dikembangkan dalam kehidupan bernegara sedikit banyak masih terpaut
padu dengan elemen agama yang dianut masyarakatnya. Bahkan di era post-modernisme,
agama semakin memperlihatkan keterpautan tinggi dengan elemen sosial politik dunia.
Hal ini menyebabkan pola hubungan-hubungan sosial antara berbagai elemen
masyarakat semakin kompleks. Anggota masyarakat mengkategorikan atau mengidentifikasi
diri sebagai bagian dari kelompok tertentu baik politik, agama maupun budaya tidak lagi
semata-mata berdasar pada faktor-faktor tradisional dan transendental, akan tetapi sudah
sampai pada pertimbangan yang bersifat pragmatis. Masyarakat tidak lagi dapat menerima
dengan mudah realitas hubungan-hubungan sosial sebagaimana adanya, akan tetapi mereka
telah mulai mempertanyakan realitas sosialnya dalam konteks kepentingan pragmatis.
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 2
Misalnya, dalam masyarakat tradisional anggota-anggota masyarakat rela memberikan
dukungan kepada entitas agama tertentu sebab mereka mendapati diri lahir dalam suatu
realitas sosial tertentu. Namun di era kontemporer, masyarakat mulai peka terhadap
signifikansi pragmatis identifikasi dirinya dengan entitas sosial tertentu sehingga mereka
hanya dapat menunjukkan loyalitas kepada suatu entitas apabila ada manfaat secara
pragmatis di samping makna-makna transendental yang mereka idealkan dari sebuah nilainilai
agama maupun budaya. Pertautan antara elemen pragmatis dan transendental ini
semakin meningkatkan kompleksitas fenomena pola hubungan-hubungan sosial yang ada
dalam masyarakat.
Dalam konteks masyarakat agama dan budaya keindonesiaan fenomena seperti ini
sejak lama menunjukkan orientasi penguatan rasionalisme modernis, bukan hanya pada
masyarakat Muslim tapi juga pada masyarakat Kristen. Di kalangan masyarakat Muslim,
mempertanyakan berbagai konsep-konsep keagamaan bahkan simbol-simbol kekuasaan
agama (baca: tokoh agama) yang dianggap mapan tidak lagi dipandang sebagai suatu hal
tabu. Konsep hukum jinayah, kewarisan, poligami yang dianggap final dalam legasi literatur
pemikiran Islam diperdebatkan secara terbuka oleh berbagai kalangan dari berbagai disiplin
ilmu dengan berbagai sumber informasi. Guru agama atau kyai dalam masyarakat tidak lagi
menjadi satu-satunya sumber informasi tentang agama karena ketersediaan berbagai sumber
alternatif. Sebagai konsekuensinya, otoritas sumber-sumber informasi tradisional menemukan
tantangan.
Tantangan yang berawal dari ketersediaan ragam sumber informasi ini dipertajam
dengan semakin tercerahkannya masyarakat dan kompleksnya problematika kehidupan.
Ketercerahaan pendidikan memungkinkan mereka membentuk independensi dalam
memecahkan problematika kehidupan keagamaan. Di sisi lain, kompleksitas kehidupan
menyebabkan mereka semakin kreatif dalam mengkomunikasikan antara tuntutan hidup dan
paham keagamaan. Kreativitas ini tidak selamanya sejalan dengan paham yang
dikembangkan dalam komunitas guru atau ulama agama. Konsekuensinya masyarakat
sekarang berani menyampaikan protes keras secara terbuka kepada tradisi atau fatwa
keagamaan yang lahir dari kalangan tokoh atau institusi agama seperti kyai, pastor, pendeta,
lembaga fatwa atau keuskupan. Sekarang, bukan lagi hal yang tabu menyampaikan protes
kepada figur atau institusi agama tersebut.
Friksi dalam kehidupan sosial politik keagamaan semakin menemukan momen yang
tepat setelah kedatangan paham post-modernisme dimana segala bentuk kekuatan yang
mengakibatkan timbulnya differentiation (pembedaan) dalam hubungan-hubungan sosial
digugat. Modernisme dalam pandangan Turner (1994) tidak terlalu bermasalah bagi
masyarakat Muslim dan Kristen sebab asas utamanya adalah rasionalisme. Rasionalisme
adalah paham yang menentang pendekatan-pendekatan mitos atau khurafat dalam membaca
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Misi seperti itu tidak berbeda dari misi
Islam dan Kristen yang mengedepankan rasionalisme.
Fenomena ini membuka peluang pada peningkatan pluralitas realitas keagamaan
dalam masyarakat Indonesia, bukan saja keragaman dalam ideologi dan filosofi antar agama,
tapi juga keragaman sekte atau aliran dalam setiap agama. Di samping itu, dengan keragaman
alternatif sumber informasi agama bukan tidak mungkin karisma para tokoh agama beserta
loyalitas masyarakat kepada mereka juga mengalami pergeseran sebagai akibat dari tingkat
kebergantungan secara monolitis kepada para tokoh agama yang semakin berkurang.
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 3
Berbeda dengan modernisme, post-modernisme dengan dukungan globalisme
konsumeris mengaburkan segala perbedaan atau batasan struktur sosial dalam segala lini
kehidupan termasuk keberagamaan. Keduanya telah membuka segala bentuk modal baik
ekonomi, sosial maupun agama kepada semua segmen masyarakat. Bentuk konsumeris tidak
lagi sebatas materi ekonomi, tapi juga telah melingkupi modal sosial dan agama. Dalam
perspektif ini, modal sosial dan agama menjadi komoditi ekonomi yang berpengaruh pada
pola-pola hubungan sosial, budaya dan agama dalam kerangka nalar pragmatis. Modal
materi, sosial dan agama menyatu sehingga orang-orang yang memiliki modal sosial dan
agama dapat saja memakai modal tersebut dengan motif yang sangat pragmatis tanpa didasari
motif transendental keagamaan atau mengkombinasikan antara keduanya. Misalnya, modal
agama yang dimiliki seorang tokoh agama tidak lagi semata-mata menjadi simbol kekuasaan
transendental akan tetapi juga menjadi instrumen kekuatan sosial, politik dan ekonomi.
Dalam berbagai kebijakan di bidang agama selama ini di Indonesia, para tokoh agama
masih dipandang sebagai simbol kekuatan dan dapat dijadikan mesin penggerak dan alat
kontrol dalam malakukan rekayasa sosial yang bertujuan memperkuat dan menjaga integritas
bangsa. Konsep ini berasumsi bahwa para tokoh agama mempunyai otoritas yang
terlegitimasi secara sosial dan politik yang mampu menjadi jaring pengaman bagi stabilitas
sosial dan politik bangsa. Masalahnya, fenomena sosial keagamaan yang semakin kompleks
dan pragmatis di era post-modernisme global konsumeris sekarang nampaknya tidak lagi
dapat dianalisis hanya dengan asumsi dasar seperti ini. Karena itu, asumsi ini perlu diuji
keabsahaannya melalui cara-cara empiris yang jarang dilakukan dalam pengambilan
kebijakan di bidang kehidupan beragama. Konsekuensinya, kebijakan acap kali
mengakibatkan eses sosial dimana asumsi konvensional di atas tidak mampu lagi
menjelaskannya.
Karena itu, menjadi penting untuk mempertanyakan karakter pola hubungan antara
tokoh agama dengan masyarakat mereka dalam beberapa aspek, khususnya di kalangan
masyarakat Kristen dan Muslim sebagai dua agama besar di Indonesia guna menjadi acuan
yang bermakna dalam mengambil kebijakan di bidang keagamaan dan budaya: Bagaimana
karakter hubungan antara status sosial dan ekonomi, partisipasi keagamaan, konsep
pluralisme keagamaan, kebutuhan masyarakat kepada tokoh agama, karisma tokoh agama
dan loyalitas masyarakat kepada tokoh agama dalam perspektif masyarakat; apakah kelimat
faktor pertama memiliki pengaruh terhadap tingkat loyalitas masyarakat kepada para tokoh
agama.
Nilai-nilai masyarakat yang memiliki orientasi ekonomi politik pragmatis dalam
berbagai bidang termasuk agama melahirkan pertanyaan seputar tingkat kebutuhan
masyarakat kepada para tokoh agama yang diasumsikan melahirkan karisma sosial dalam diri
tokoh agama yang pada gilirannya membawa pengaruh pada loyalitas masyarakat kepada
mereka. Namun demikian, ketiga variabel tersebut diasumsikan dipengaruhi oleh berbagai
variabel, seperti tempat domisili, gender, status sosial dan ekonomi, tingkat pertisipasi sosial
keagamaan dan karakter konsep pluralisme keagamaan.
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 4
II
MENELUSURI ISU PARTISIPASI KEAGAMAAN, PLURALISME, KEBUTUHAN
DAN LOYALITAS MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA
Penelitian tentang pemimpin organisasi telah lama dikembangkan dalam bidang
perilaku keorganisasian dalam suatu perusahaan atau organisasi. Apabila hubungan sosial
keagamaan dapat dipandang sebagai sebuah sistem masyarakat yang memiliki struktur,
meskipun lebih fleksibel dari pada sistem hirarki yang ada dalam organisasi formal, maka
struktur sosial keagamaan pun dapat dikaji dengan pendekatan-pendekatan yang berkembang
dalam organisasi formal. Dalam studi ini, ada lima konsep yang diuraikan berdasarkan
literatur yang ada, yaitu partisipasi keagamaan masyarakat, model konsep pluralisme,
kebutuhan masyarakat kepada tokoh agama, karisma tokoh agama dan loyalitas masyarakat
kepada tokoh agama. Konsep kebutuhan kepada tokoh agama, karisma dan loyalitas diadopsi
dari studi-studi tentang perilaku pemimpin dan bawahan dalam sebuah organisasi dengan
mengkombinasikan konsep pertama dengan teori Maslow (1970) tentang piramida kebutuhan
manusia. Sedangkan dua konsep lain (pluralisme dan partisipasi keagamaan) merujuk pada
studi-studi empiris tentang pluralisme keagamaan dan efeknya terhadap partisipasi
keagamaan masyarakat dalam kajian sosiologi dan antropologi agama.
PARTISIPASI KEAGAMAAN MASYARAKAT
Partisipasi keagamaan masyarakat adalah peran serta masyarakat dalam bidang sosial
keagamaan yang ditunjukkan lewat keikutsertaan atau kontribusi aktif mereka dalam berbagai
kegiatan sosial keagamaan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif.
Secara institusional, dasar negara Indonesia hanya mengakui keberadaan lima agama
di bumi nusantara. Meskipun dalam kajian sosiologi agama telah lama diperdebatkan masalah
efek keragaman agama terhadap partisipasi keberagamaan masyarakat, implikasi praktis dari
pembatasan agama di Indonesia masih kurang dikaji. Selama ini diperdebatkan pilihan agama
yang banyak meningkatkan atau justu menurunkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
keagamaan. Persoalan ini semakin menarik apabila kita menyadari bahwa secara formal
keagamaan bisa saja dibatasi, tapi di era global dimana interaksi antara penduduk bumi
semakin intens sehingga jalan untuk mengenal pilihan lain dalam hal keyakinan agama
semakin terbuka. Dengan demikian, pembatasan semacam itu perlu dikaji implikasinya
terhadap partisipasi keagamaan masyarakat.
Berger (1967) menegaskan bahwa pluralisme agama melemahkan jaringan dan
institusi sosial yang menekankan satu pilihan keyakinan saja. Apabila negara, institusi publik
dan kontak sosial sehari-hari tidak lagi memaksakan satu kebenaran keyakinan agama
tertentu, akan tetapi justru mengekspos masyarakat kepada keragaman pendapat, maka agama
kehilangan kualitasnnya sebagai kebenaran yang taken for granted. Dia menegaskan bahwa
proses seperti ini merupakan konsekuensi natural dari modernisasi. Sebaliknya, Finkle dan
Stark (1992) berpendapat bahwa teori ini gagal menjelaskan fenomena yang terjadi di
Amerika sebab negara industri ini memiliki tingkat pluralitas agama paling tinggi dan pada
saat yang sama memiliki presentasi kehadiran gereja yang paling tinggi pula. Fenomena
partisipasi keagamaan di Amerika mengilhami Finkle dan Stark (1992) mengajukan teori
tentang ekonomi agama. Keduanya berpandangan bahwa monopoli keberagamaan
merupakan kemalasan. Sebaliknya, pluralisme mendorong terjadinya kompetisi dimana setiap
institusi agama berjuang keras untuk meningkatkan jumlah pengikutnya sehingga semakin
banyak orang yang tertarik bergabung dalam agama. Disamping itu, realitas pluralitas agama
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 5
semakin membuka peluang bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam agama tertentu
sesuai dengan pilihan masing-masing (Voas et al., 2002).
Argumen ini menarik perhatian sebab ternyata fenomena kompetisi kelompok
beragama menjadi sumber berkembangnya vitalitas keberagamaan. Di samping itu, argumen
empiris yang menunjukkan bahwa ada asosiasi positif antara pluralisme dan partisipasi
keagamaan telah menimbulkan klaim bahwa pendekatan market atau ekonomi merupakan
pilihan rasional dalam mengkaji fenomena pluralisme agama (Chaves & Gorski, 2001).
Melton (2001) menekankan prospek pluralisme agama atas dua alasan. Pertama, pluralisme
agama nampaknya sangat berperan dalam meningkatkan partisipasi keagamaan secara total.
Partisipasi tinggi seperti itu menurutnya akan meningkatkan level moralitas masyarakat.
Kedua, level moralitas yang tinggi akan mengantar pada dorongan publik yang lebih besar
untuk memiliki sebuah pemerintahan yang bersih dan sekaligus berpartisipasi di dalam
pemerintahan seperti itu.
Berangkat dari pandangan tersebut di atas adalah menarik untuk mengidentifikasi
dampak partisipasi keagamaan terhadap konsep pluralisme pluralitas keagamaan masyarakat
Muslim dan Kristen di Sulawesi Utara.
KONSEP PLURALISME AGAMA MASYARAKAT
Konsep pluralisme agama adalah pemahaman masyarakat terhadap realitas keragaman
identitas agama dalam komunitas hidup mereka. Ada berbagai konsep yang telah berkembang
tentang tatanan ideal kehidupan umat beragama, mulai dari monisme ekslusif, monisme
inklusif sampai pada pluralisme relativistik.
Hubungan sosial antara penganut agama yang berbeda-beda bukan hanya fenomena
sosial yang tidak memerlukan intervensi kekuasaan, akan tetapi ia juga merupakan fenomena
yang memerlukan intervensi politik. Rawls (1996) menolak liberalisme komprehensif dan
menerima ide tentang fakta pluralisme yang reasonable. Menurutnya, di bawah kondisi
politik dan sosial yang diamankan dengan perolehan hak-hak dasar dan kebebasan institusi,
sebuah doktrin yang komprehensif dan beralasan akan lahir dan bertahan apabila keragaman
belum diperoleh. Fakta pluralisme yang reasonable diistilahkannya dengan fact of oppression
adalah pemahaman bersama (shared understanding) secara berkelanjutan atas doktrin agama,
modal dan filsafat. Fakta seperti itu dapat terjaga apabila ada penggunaan kekuatan negara
secara opresif. Pelaksanaan kekuasaan politik mereka dapat terjustifikasi apabila dilakukan
sesuai dengan perundang-undangan yang memuat hal-hal pokok dimana semua warga secara
akal sehat menyepakatinya dalam rambu-rambu prinsip dan landasan ideal yang diterima
secara bersama sebagai hal yang beralasan dan rasional (Talisse, 2003).
Gagasan Rawls (1996) tentang pluralisme menggambarkan situasi yang terjadi di
Indonesia di mana tatkala demokrasi dan masyarakat sipil berusaha dikembangkan dalam
masyarakat, ada beberapa kebijakan di bidang hukum, politik, budaya dan agama yang
mengundang kontroversi seperti undang-undang SISDIKNAS, undang-undang tentang
kerukunan hidup umat beragama, rancangan undang-undang tentang pornografi dan porno
aksi. Reaksi masyarakat terhadap produk perundang-undangan ini sering dikaitkan dengan
masalah hubungan mayoritas-minoritas. Kelompok minoritas merasa bahwa aspirasi mereka
atau eksistensi mereka terancam oleh produk undang-undang tersebut. Sehingga, menurut
Rawls (1966) dalam kondisi seperti itu hanya pluralisme yang ditopang dengan kekuasaan
pemerintah yang berlandaskan pada pemahaman bersama dapat berjalan dengan baik. Dalam
hal ini, Voltaire pernah menggambarkan situasi di Inggeris, “Apabila hanya ada satu agama
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 6
di Inggeris, maka akan ada bahaya despotisme; apabila ada dua, maka satu sama lain akan
memotong urat leher, akan tetapi ada tiga puluh agama dan mereka hidup bahagia dalam
kedamaian.” Artinya, semua bangsa sepanjang sejarah telah berjuang untuk menemukan
keseimbangan antara keyakinan dan masyarakat (Hatch, 2004). Ucapan Voiltaire ini menjadi
harapan ideal setiap masyarakat yang memiliki realitas plural. Namun yang menjadi
persoalan rekayasa sosial yang tepat untuk diterapkan dalam suatu masyarakat plural untuk
mewujudkan kehidupan damai.
Proses asimiliasi antara budaya biasanya diyakini sebagai suatu proses netral yang
dapat membentuk kebersamaan dalam kemajuan. Akan tetapi ternyata asimilisi itu juga tidak
bebas nilai, bukan sebuah proses sosial yang berlangsung secara obyektif sebab dalam sebuah
proses asimilasi budaya pihak mayoritas acapkali tidak tahan untuk menjadikan nilai mereka
memiliki pengaruh dominan dalam sistem sosial suatu masyarakat. Kecenderungan ini
tentunya akan mengundang reaksi dari pihak minoritas dengan alasan kesetaraan. Machacek
(2003) mencontohkan gerakan nativis seperti gerakan anti Katolik dan pasukan anti komunis
sebagai reaksi terhadap gerakan yang dilakukan kelompok mayoritas di Amerika untuk
menguatkan dominasi mereka dalam kehidupan masyarakat. Fenomena seperti ini tentu saja
melahirkan kekhawatiran mendalam tentang konsekuensi keragaman.
Menurut Requejo (1999) sekarang ada empat tipe pergerakan dalam kerangka
pluralisme budaya, yaitu gerakan single issue seperti gender, non-state nationalist, imigran
dan gerakan orang-orang indigenous. Keempat tipe tersebut, menurutnya, dalam sebuah
masyarakat demokratis liberal semestinya ditangani dengan cara yang berbeda-beda sesuai
dengan karakter kualitatif masing-masing. Akan tetapi pada prinsipnya, menurut Rawls
(1996), guna menangani hal seperti ini dibutuhkan sebuah kebijakan politik pluralis yang
berlandaskan pada penerimaan beralasan terhadap berbagai sudut pandang. Warga menjadi
reasonable apabila mereka memandang orang lain sebagai pribadi yang bebas dan setara di
dalam sebuah sistem kerjasama sosial sepanjang generasi. Mereka siap memberikan termaterma
yang fair dalam hubungan-hubungan sosial yang ditetapkan berdasarkan prinsipprinsip
dan ide-ide yang jelas. Mereka sepakat untuk beraksi berdasarkan terma-terma
tersebut, meskipun harus mengorbankan kepentingannya sendiri dalam kondisi tertentu,
dengan syarat yang lain juga menerima terma-terma tersebut (Howard, 2005).
Anthony, Hermans dan Sterkens (2005) menguraikan lima model konsep pluralisme
yang diajukan Knitter (2002). Pertama, model replacement (exclusivist model) yang
merepresentasikan pemahaman yang cenderung mengafirmasikan agama yang dianutnya
sebagai satu-satunya agama yang benar dan agama lain harus digantikan dengan agama yang
dianutnya sebagai solusi akhir. Kedua, model fulfilment yaitu model yang berpandangan
bahwa agama lain benar akan tetapi kesempurnaan akhir hanya ada pada agama yang
dianutnya. Model ini biasa juga dikenal dengan inclusivist model. Ketiga, model mutuality
yakni model yang melihat kesamaan elemen agama sehingga satu sama lain dapat saling
mengisi. Dalam menghubungkan hal-hal yang bertentangan diusahakan menemukan elemen
yang dapat dimiliki bersama. Kebaikan dan kebenaran suatu agama harus diukur dengan
kemampuannya mempromosikan kedamaian, keadilan dan kesatuan. Model ini biasa juga
disebut dengan model pluralist dalam kajian teologi agama. Keempat, acceptence model
yakni model yang menekankan bahwa perbedaan antara agama adalah riil dan partikularitas
setiap agama merupakan peluang untuk bertumbuh dan saling memperkaya. Perbedaan
agama dapat diinterpretasikan, dihubungkan dan diantar kepada hubungan kesatuan, akan
tetapi ‘yang banyak’ ini tidak dapat dilebur menjadi ‘yang satu’. Filter budaya agama sangat
berbeda sehingga suatu agama tidak dapat diukur dengan sistem ukuran agama lain. Model
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 7
ini meyakini bahwa usaha menghilangkan keragaman akan berakhir pada pengrusakan
vitalitas masing-masing agama. Fokus model ini lebih pada perbedaan ketimbang pada
penerimaan sehingga ia disebut juga dengan model diffential pluralism.
Knitter (2002) menguraikan bahwa model ini terdiri dari tiga perspektif yang berbeda
yaitu post-liberal cultural-linguistic perspective, plurality of ultimate perspective dan
comparative theological perpective. Perspektif pertama memandang agama dalam kerangka
budaya atau linguistik yang membentuk seluruh bangun pikiran dan kehidupan seseorang.
Perspektif kedua berpandangan bahwa perbedaan antar agama-agama bukan hanya dalam
bahasa, akan tetapi juga dalam inti dan elemen akhir (ultimate) semua agama. Perbedaan
yang riil antar agama-agama memungkinkan mempelajari sesuatu yang benar-benar baru.
Sedangkan perspektif ketiga berpandangan bahwa fondasi teologi agama-agama ditemukan
dalam dialog, bukan dalam teologi. Pemahaman yang baik terhadap suatu agama
kemungkinan lahir dari pemahaman yang lebih baik tentang agama lain. Pemahaman yang
lebih baik memerlukan komitmen kepada agama seseorang dan pada saat yang bersamaan
memerlukan keterbukaan kepada kebenaran yang ditemukan dalam agama lain.
Model yang terakhir adalah relativistic pluralism yang berpandangan bahwa terlepas
dari persamaan dan perbedaan berbagai elemen dalam agama-agama, semua diyakini
memiliki nilai dan signifikansi yang sama.
Sehubungan dengan pluralisme agama, tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat
Indonesia hidup dalam realitas tersebut. Sebagai konsekuensinya, dalam membangun
hubungan-hubungan sosial mereka telah membangun berbagai model konsep pluralisme
teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Namun konsep apapun yang mereka miliki, selama
ini belum ada penelitian yang pernah dilakukan untuk mengidentifikasi model konsep
pluralisme mereka. Padahal informasi semacam itu sangat bermanfaat, baik untuk kajian
perbandingan agama maupun untuk lebih mengenal bagaimana masyarakat memahami
konsep pluralisme. Informasi kedua ini dapat memberikan gambaran peta kognitif
masyarakat tentang pluralisme. Informasi semacam itu tentu saja sangat baik dijadikan acuan
dalam pengambilan kebijakan dalam proses rekayasa sosial keagamaan.
KEBUTUHAN MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA
Fiedler (1964) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang dapat menentukan apakah
seorang pemimpin disukai atau tidak disukai oleh orang-orang yang dipimpinya, yaitu
hubungan personalnya dengan mereka, kekuasaan yang diberikan oleh kedudukannya, dan
karakter tingkat struktur (rutin atau menantang) yang diberikan sub-ordinasi kepadanya. Dia
menegaskan bahwa apabila esensi kepemimpinan adalah proses dimana seseorang memberi
pengaruh kepada orang lain, maka isu mudah atau sulitnya seorang pemimpin memberi
pengaruh kepada mereka yang dipimpinnya dalam situasi tertentu adalah sangat penting
(Blanchard, 1967).
Tokoh agama adalah orang yang berusaha untuk memberi pengaruh pada masyarakat
dimana mereka hidup dengan sasaran pencerdasan dan pencerahan yang diasosiasikan dengan
usaha mendekatkan masyarakat pada agama yang dianutnya. Proses pencerahan ini
teraktualisasi dalam bentuk pemantapan keimanan dan ketakwaan yang berimplikasi pada
keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat atas dasar nilai-nilai agama. Tokoh
agama seperti ini dapat meliputi berbagai kalangan dengan ragam tingkatan dalam sistem
hirarki sosial keagamaan. Mereka itu adalah orang-orang yang bekerja untuk
mensosialisasikan ajaran-ajaran agama lewat media pengajaran dan menjadi model atau
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 8
tauladan di tengah masyarakat. Di samping itu, mereka juga mengayomi masyarakat dalam
menghadapi problematika kehidupan dengan pendekatan agama. Akan tetapi pendekatan ini
dapat juga terbuka dan meliputi ragam acuan pendekatan di luar agama sehingga terbentuk
sebuah sistem pendekatan kepemimpinan yang bersifat multidimensional sesuai dengan
kapasitas masing-masing. Guru agama dalam masyarakat seperti imam masjid, juru dakwah,
kyai, pendeta, pastor adalah agen-agen kepemimpinan agama.
Helmich dan Erzen (1975) melaporkan hasil temuannya bahwa pilihan strategi
seorang pemimpin untuk memberikan pengaruh kepada sub-ordinasinya ditentukan oleh
karakter sistem kebutuhan personalnya. Seorang pemimpin yang memiliki orientasi tugas
dalam memimpin cenderung merasa kurang puas dalam pencapaian kebutuhan dasar yang
integral dengan situasi kerja dan performans kerja yang ada. Dalam hal ini, pemimpin lakilaki
cenderung memenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan harga dan aktualisasi diri,
sedangkan pemimpin perempuan cenderung memenuhi kebutuhan yang memiliki asosiasi
dengan kebutuhan sosial (Helmich & Erzen, 1975).
Apabila kepemimpinan seorang tokoh agama dianalogkan dengan kepemimpinan
seorang manager perusahaan, maka mereka pun seharusnya terpengaruh oleh faktor-faktor
kepentingan personal dalam menjalankan fungsinya sebagai tokoh agama dalam
masyarakatnya. Mereka pun dapat menjalankan fungsinya dengan menerapkan berbagai
strategi yang dalam pikiran mereka sejalan dengan kepentingan personalnya. Kepentingan
personal ini dapat saja memiliki karakter materialis atau transendental atau sekaligus
menggabungkan kedua-duanya.
Pendekatan leader-centered telah lama mendominasi agenda penelitian di bidang
kepemimpinan dengan fokus pada personalitas, gaya perilaku, dan metode pengambilan
keputusan (De Vries et al., 1997). Hollander dan Offerman (1990) menggagas pentingnya
melibatkan pihak sub-ordinasi dalam membangun model kepemimpinan guna memperdalam
pemahaman tentang proses kepemimpinan (De Vries et al., 1997). Pendekatan ini pun dapat
diterapkan dalam dunia kepemimpinan tokoh agama. Meskipun mereka tidak identik dengan
pengambilan keputusan yang bersifat formal sebagaimana dalam dunia perusahaan atau
lembaga resmi, akan tetapi mereka adalah kelompok orang-orang yang selalu diperhadapkan
pada berbagai masalah-masalah kemasyarakatan di mana mereka dituntut untuk mengambil
keputusan yang menyentuh hajat hidup orang banyak. Posisinya sebagai rujukan dalam
pengambilan keputusan sosial keagamaan semakin kompleks saat mereka diperhadapkan
pada realitas sistem dan struktur sosial yang sangat plural sebab mereka harus mampu
bernegosiasi dengan berbagai pihak yang berbeda-beda dimana pihak tersebut juga memiliki
latar belakang kepentingan yang belum tentu sama dengan pihak pertama.
De Vries et al. (1997) mendefinisikan konsep ‘kebutuhan kepada pemimpin’ sebagai
persepsi dalam konteks sosial yang dimiliki pihak sub-ordinasi dalam hal ini masyarakat
mengenai relevansi tindakan pemimpin yang terlegitimasi dalam memberi pengaruh terhadap
dirinya atau satu kelompok miliknya.
Legitimasi kepemimpinan dalam masyarakat agama tentunya tidak sesederhana
legitimasi yang berlaku dalam sebuah lembaga resmi atau perusahaan. Seseorang menjadi
tokoh agama dalam sebuah masyarakat bukan atas dasar pemilihan yang dapat berlangsung
secara singkat, melainkan melalui sebuah proses panjang yang melibatkan banyak aspek,
mulai dari potensi keperibadian, keagamaan, kualifikasi pendidikan, sosial dan moral. Akan
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 9
tetapi asumsi yang berlaku dalam dunia kepemimpinan formal masih dapat diaplikasikan
dalam dunia kepemimpinan agama.
De Vries et al. (1997) mengasumsikan bahwa sub-ordinasi yang memiliki kebutuhan
rendah terhadap kepemimpinan cenderung bertindak independen dan menunjukkan respons
yang rendah terhadap intervensi yang dilakukan pemimpinnya. Sedangkan sub-ordinasi
dengan kebutuhan tinggi terhadap kepemimpinan cenderung menyerahkan dirinya kepada
tindakan pemimpinnya dan menganggap citra superior sebagai karisma pemimpin. Hal ini
pun tidak menutup kemungkinan terjadi dalam proses kepemimpinan agama. Suatu
masyarakat yang merasakan tingkat kebutuhan yang rendah terhadap tokoh agamanya akan
cenderung bersikap independen dan tidak merasakan substansi kehadiran seorang tokoh
agama dalam masyarakatnya. Sebaliknya, masyarakat yang merasakan kebutuhan yang tinggi
kepada tokoh agamanya akan bersikap patuh dan loyal kepada segala bentuk intervensi sosial
kemasyarakatan yang dilakukan tokoh agamanya. Masalahnya, indikator-indikator apa saja
yang dapat dijadikan acuan identifikasi kebutuhan masyarakat kepada para tokoh agamanya.
Maslow (1970) telah menggagas teori piramida kebutuhan manusia. Dalam teori ini,
dia menyusun hirarki sistem kebutuhan manusia dari tingkatan yang paling rendah sampai
pada tingkatan paling tinggi, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan pada keselamatan dan
keamanan, kebutuhan terhadap cinta dan rasa memiliki, kebutuhan pada harga diri dan
terakhir kebutuhan pada aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih tinggi, menurut Maslow, tidak
dapat tercapai sebelum kebutuhan yang lebih rendah terwujud (Anonymous, 2003; Boeree,
2006; Rouse, 2004). Di samping itu, keterpenuhan kebutuhan yang lebih tinggi menunjukkan
kualitas hidup seseorang dan piramida ini menjadi tangga seleksi bagi manusia sehingga,
menurut Maslow, semakin tinggi konsep kualitas yang ada, maka semakin sedikit pula orang
yang mencapainya. Apabila kita menyederhanakan konsep ini, mungkin para tokoh agama
dalam masing-masing daerah pada masyarakat tertentu adalah bagian dari komponen
masyarakat yang minoritas.
Teori ini senada dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan Abu Syaibah dan al-
Baihaqi dari Anas ra. dari Nabi saw. yang berbunyi " " آاد الفقر أن يكون آفرا وآاد الحسد أن يغلب القدر
(Hampir saja kefakiran menjadi kekufuran dan sifat hasad mengalahkan takdir Allah) (Al-
Suyuthi, 1993). Apabila keimanan dan ketakwaan merupakan gambaran aktualisasi diri
seseorang, apa pun agamanya, berdasarkan hadis ini dia akan sulit mewujudkan keduanya
tanpa dukungan keterpenuhan kebutuhan fisiologisnya. Kebutuhan fisiologis dalam konsep
kebutuhan Maslow adalah kebutuhan jasmani seperti makan dan minum serta tempat tinggal.
Mungkin teori Maslow (1970) tentang hirarki kebutuhan ini terkesan deterministik
sehingga peluang seseorang untuk mengejar dan mewujudkan harga diri serta
mengaktualisasikan diri sebagai elemen kebutuhan tertinggi seakan-akan tak mungkin
tercapai tanpa keterpenuhan elemen-elemen kebutuhan lain yang lebih rendah, seperti
kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keamanan dan kebutuhan terhadap cinta dan rasa
memiliki. Karena itu, menurut teori Maslow, orang yang kehilangan kesempatan pada jenjang
usia tertentu untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan tertentu, dia akan menghabiskan
waktu untuk mencari kebutuhan yang hilang tersebut dan kesempatan untuk menggapai
elemen kebutuhan yang lebih tinggi semakin berkurang. Namun demikian, masalah
kebutuhan sebaiknya dilihat lebih komprehensif dan tidak deterministik sebab pada
kenyataannya ada orang dalam masyarakat yang rela menghabiskan hidupnya untuk mengejar
tingkat keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agama masing-masing tanpa harus terhalang
oleh masalah keterpenuhan kebutuhan fisiologis. Orang-orang seperti ini biasanya memiliki
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 10
orientasi hidup transendental seperti keridhaan Tuhan dan keselamatan di alam lain. Dalam
dunia Islam, orang-orang seperti itu dapat ditemui di kalangan ulama-ulama shaleh seperti
Imam Ahmad bin Hambal, Hasan al-Banna, Sayyid Qutub dan banyak lagi yang lain. Dalam
dunia Kristen dan Budha, Mother Teresa dan Dalai Lama dikenal sebagai tokoh yang sangat
mengedepankan kepentingan orang lain dari kepentingan dirinya. Mereka itu secara fisiologis
sangat terbatas bahkan cenderung menolak dan menyerahkannya ke orang lain yang
membutuhkannya.
Namun demikian, teori Maslow (1970) tentang hirarki kebutuhan manusia tetap patut
dipertimbangkan untuk dijadikan acuan dasar dalam proses pengembangan konsep tentang
kebutuhan masyarakat kepada para tokoh agama mereka. Alasan yang mendasari kepatutan
ini adalah kenyataan bahwa sampai sekarang hanya Maslow yang pernah mengembangkan
kajian akademis yang sangat mendalam pada isu kebutuhan hidup manusia. Oleh karena itu,
sistem kebutuhan yang telah diteorikannya akan dipakai sebagai konsep dasar dalam
mengukur aspek kebutuhan masyarakat Muslim and Kristen terhadap tokoh agama mereka di
Sulawesi Utara. Tentunnya, aplikasi konsep ini dalam bidang keagamaan mesti dimodifikasi
sesuai dengan karakter variabel penelitian. Misalnya, apabila Maslow telah menghubungkan
kebutuhan fisiologis dengan kebutuhan-kebutuhan fisik manusia seperti makan dan minum,
konsep seperti ini dalam penelitian ini akan dimodifikasi dengan orientasi sejauh mana
masyarakat menghubungkan pemenuhan kebutuhan seperti itu dalam hubungan mereka
dengan para tokoh agama dalam masyarakatnya.
KARISMA TOKOH AGAMA
Dalam sosiologi kekuasaan, Weber (1864-1920) mendefinisikan karisma sebagai tipe
kekuasaan spesifik yang dalam bentuk murninya tidak berdasar pada kepentingan absolut
atau kekuasaan, akan tetapi semata-mata atas dasar kepercayaan terhadap otoritas khusus
seseorang. Akan tetapi dalam kajian antropologi agama, Weber berbicara tentang karisma di
luar konteks kekuasaan, melainkan dalam konteks sebuah konsep yang berhubungan dengan
mana dan tabu. Dalam hal ini, karisma diinterpretasikan sebagai fenomena yang jauh lebih
umum dari pada karisma kekuasaan, yakni pada konsep kekuatan yang sering
didepersonalisasi yang diasumsikan berada pada inti keyakinan dalam magic dan fetishism
(Riesebrodt, 1999). Shils (1972) mendefinisikan karisma sebagai kualitas yang diberikan
kepada seseorang, tindakan, peran, institusi, simbol dan obyek materi karena asumsi
hubungan mereka dengan kekuatan yang mengendalikan, vital, fundamental dan akhir. Bagi
Shils, segala konsentrasi kekuasaan yang dimiliki seseorang, suatu lembaga baik politik,
ekonomi, pemerintahan maupun individu mengakibatkan lahirnya karisma (Riesebrodt,
1999). Jadi, Weber cenderung menempatkan karisma pada posisi periferal dalam sistem
hubungan sosial, sedangkan Shils menempatkannya pada posisi sentral.
Sebenarnya konsep karisma yang dikembangkan Shils merupakan hasil intepretasi
terhadap konsep yang digagas oleh Durkheim dan Otto (1958). Dalam terma Durkheim,
karisma adalah sesuatu yang disucikan (the sacred) dan bagi Otto dikenal dengan the holy.
Yang disucikan ini mengontrol sistem dan hubungan-hubungan kekuasaan sosial (Riesebrodt,
1999). Sohm (1892) mengemukakan bahwa karisma pada awalnya tidak berhubungan dengan
sistem organisasi atau kedudukan, akan tetapi ia bersifat universal dan berpusat pada ucapan
Tuhan yang merupakan pemberian-Nya (Riesebrodt, 1999). Lalu, dalam perkembangan
berikutnya, kajian tentang karisma dikaitkan dengan kajian kepemimpinan, khususnya
kepemimpinan dalam organisasi tertentu.
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 11
Fagen (1993) mencoba mengelaborasi secara proposional atau hipotetik lima elemen
kepemimpinan karismatik berdasarkan teori kekuasaan yang digagas Weber, yakni (a)
pemimpin kharimastik merupakan hasil kreasi para pengikut yang muncul dari sistem
keyakinan mereka, bukan dari karakteristik transendental pemimpin. Apabila tak seorang pun
yang memiliki keyakinan akan kesempurnaan moral seseorang, sebijaksana dan sekuat
apapun seorang memimpin mempersepsikan dirinya karismanya tidak akan terwujud; (b)
Seorang pemimpin yang berhasil menumbuhkan kekuasaan karismatik dalam suatu situasi
dan konteks mungkin saja gagal total melakukan itu dalam konteks lain; (c) Seorang
pemimpin tidak menganggap diri dipilih atau bergantung pada para pengikutnya, akan tetapi
merasa diri dipilih dari atas untuk menjalankan suatu misi. Dia merasa bahwa legitimasi
kekuasaannya bersumber dari suatu hubungan khusus antara dirinya dengan suatu kekuatan
abstrak; (d) Perilaku pemimpin yang karismatik cenderung anti-birokrasi. Pemimpin seperti
ini dikelilingi oleh orang-orang yang dipilih berdasarkan kesetiaan, bukan atas dasar prosedur
formal; (e) Kepemimpinan karismatik cenderung tidak stabil dan transformasional guna
menghadapi perubahan-perubahan baru (Fagen, 1993).
Konsep ini lalu mulai diaplikasikan dalam teori-teori kepemimpinan atau organisasi
pada dekade delapan puluhan. Bass (1980) mengembangkan konsep baru yang
menghubungkan antara karakter transformasional dan karisma kepemimpinan dalam
karyanya Leadership beyond Expectations. Gagasan Bass (1980) telah melahirkan apa yang
dikenal dengan new paradigma dalam kajian kepemimpinan (Conger & Kanungo, 1994).
Hunt (1999) mencoba membandingkan antara paradigma lama dan baru kepemimpinan
sebagai berikut: (a) Melalui aspek visionernya, kepemimpinan baru atau
transformasional/karismatik telah melebarkan peran pemimpin tradisional ke dalam apa yang
dikenal dengan a manager of meaning yang memberikan hubungan kuat dengan literatur
budaya organisasi dan aspek simbolik organisasi; (b) Paradigma ini menekankan pentingnya
reaksi emosional para pengikut terhadap visi transendental pemimpin; (c) Paradigma ini
cenderung menfokuskan perhatian pada level atas kepemimpinan, bukan pada level bawah
yang mendominasi kajian kepemimpinan tradisional; dan (d) Paradigma ini lebih
menfokuskan diri pada pendekatan kualitatif dalam kajian seperti wawancara, studi kasus dan
observasi jika dibandingkan dengan studi sebelumnya. Kecenderungan terakhir ini mendapat
kritik dari Conger dan Kanungo (1994). Keduanya berargumen bahwa kecenderungan
memakai pendekatan kualitatif telah menyebabkan kesempatan untuk melakukan pengujian
teori secara empiris dan terukur berkurang, yang berimplikasi pada kelambanan dalam
memajukan pengembangan teori. Hal ini menyebabkan keduanya mencoba
mengoprasionalisasikan beberapa konsep mengenai kepemimpinan transformasional dan
karismatik dalam bentuk instrumen pengukuran.
Merujuk pada lima elemen karisma kepemimpinan yang digagas Weber, Conger,
Kanungo, Menon, dan Mathur (1997) melakukan serangkaian pengujian instrumen untuk
mengidentifikasi proses kepemimpinan yang karismatik dalam suatu organisasi. Instrument
yang pertama kali dikembangkan Conger dan Kanungo (1994) telah diujicobakan kepada tiga
komunitas, yaitu manager perusahaan Amerika, delegasi parti politik Kanada dan pekerja
klerik India. Dalam ketiga studi tersebut, analisis menunjukkan bahwa instrumen yang
mereka kembangkan memiliki konsistensi reliabilitas dan validitas dalam pemakaiannya
terhadap segmen masyarakat yang cukup varian (Conger et al., 1997).
Operasionalisasi konsep karisma oleh Conger dan Kanungo (1994) dilakukan dengan
memperhatikan tahapan proses kepemimpinan, yakni (a) Tahap pengenalan lingkungan untuk
mengidentifikasi peluang dan tantangan guna merumuskan orientasi organisasi ke depan; (b)
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 12
Tahap perumusan strategi dan tujuan yang diartikulasikan dalam bentuk keanggotaan
organisasi; dan (c) Tahap penggalangan komitmen dan mobilisasi keanggotaan organisasi
untuk mengimplementasikan strategi guna mencapai tujuan lewat pengambilan berbagai
inisiatif (Conger et al., 1997).
Konsep karisma yang telah dioperasionalisasikan oleh Conger dan Kanungo (1994)
akan diadopsi untuk dikembangkan menjadi instrumen guna mengukur karisma tokoh agama
dalam penelitian ini dengan melakukan modifikasi yang diperlukan. Adalah wajar apabila
konsep ini diaplikasikan dalam bidang kepemimpinan agama dalam masyarakat sebab
konsep karisma sebenarnya pertama kali digagas dalam bidang kajian antropologi dan
sosiologi agama.
LOYALITAS MASYARAKAT KEPADA TOKOH AGAMA
Loyalitas masyarakat kepada tokoh agama dipahami sebagai ikatan masyarakat
kepada tokoh agama yang lahir dari rasa keterpenuhan kebutuhan tertentu seperti kepuasan
pada keuntungan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain sebagainya.
Adler (1988) mengungkapkan bahwa kajian loyalitas organisasi telah menimbulkan
minat yang besar terhadap kajian sains organisasi. Keduanya mengemukakan bahwa pada
dasarnya loyalitas organisasi adalah ikatan kuat yang terbentuk dari sebuah organisasi atau
individu dan kelompok. Loyalitas meliputi rasa kedekatan, kepemilikan, keinginan kuat
untuk menjadi bagian dari sesuatu; loyalitas melibatkan kesiapan memberi kontribusi
terhadap sesuatu; loyalitas mencakup kecondongan secara suka rela kepada suatu kelompok
atau orang; dan kerelaan mengikuti dengan penuh rasa percaya kepemimpinan atau petunjuk
suatu organisasi.
Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan guna menginterpretasikan hal-hal yang
melatarbelakangi loyalitas seseorang kepada sesuatu. Dalam pendekatan modal nilai, ikatan
loyalitas keorganisasian diprediksikan memiliki motif ekonomi dan didorong oleh pertukaran
keahlian, tenaga dan produktifitas antara pekerja untuk menghasilkan pendapatan. Dalam
pendekatan kekuasaan tempat kerja, diasumsikan bahwa yang mendasari lahirnya loyalitas
adalah fungsi persepsi pekerja terhadap legitimasi kekuasaan yang dilakukan oleh majikan.
Sedangkan penganut pendekatan kepuasan kerja dan komitmen pekerjaan melihat loyalitas
sebagai sesuatu yang secara mendasar disebabkan oleh faktor individualisme yang diarahkan
pada kerugian dan keuntungan pribadi serta imbalan instrinsik yang intergral dalam pekerjaan
(Adler & Adler, 1988).
Penelitian yang dilakukan tentang loyalitas dalam konteks kelompok agama masih
kurang. Mungkin loyalitas yang memerlukan komitmen kesetiaan dalam bidang kajian agama
tidak mudah untuk dihubungkan dengan kepentingan ekonomi dan kerja sebab loyalitas
keagamaan memiliki karakter yang unik dalam aspek transendensinya.
Belajar dari Marx (1818-1883) dan Weber (1864-1920), Bourdie menggagas konsep
modal budaya (social capital) dan modal agama (religious capital). Dia berpendapat bahwa
bukan hanya modal ekonomi dan produksi yang mengendalikan kehidupan suatu masyarakat,
akan tetapi modal budaya dan agama juga dapat mengendalikannya. Budaya, agama,
stratafikasi dan kekuasaan memiliki hubungan yang erat. Perjuangan mendapatkan
pengakuan sosial merupakan dimensi utama dalam semua kehidupan sosial, tidak terkecuali
kelompok beragama. Modal agama dan budaya, menurut dia, merupakan bentuk kekuasaan
yang tidak dapat direduksi dalam pertukaran modal ekonomi. Lewat interaksi kekuasaan
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 13
sosial, tokoh agama menegaskan diri sebagai sumber yang bernilai (valued resources); posisi
yang tidak dimiliki orang banyak. Perbedaan kelas ini lalu disalahpahami sebagai nilai yang
bersumber dari kebernilaian individu, bukan dari posisi kelas, maka dengan sendirinya
masyarakat melegitimasi sistem kelas. Berbeda dengan Bourdie, Frankfurt School
berpendapat bahwa hegemoni subyektif budaya masalah telah menyebabkan perbedaan kelas
budaya tidak terlihat dengan jelas (Swartz, 1996).
Uraian teori modal budaya dan agama yang dikemukakan Bourdie di atas
mengindikasikan kemungkinan modal agama untuk saling terkait dalam pertimbangan
kepentingan yang dimiliki masyarakat. Kepentingan ini dapat berimplikasi pada karakter
loyalitas mereka kepada para tokoh agama.
Penelitian dalam bidang pemasaran di perusahaan menunjukkan bahwa perilaku
manager berpengaruh pada komitmen karyawan kepada perusahaan sehingga apabila
pemimpin sebuah perusahaan kurang memahami hubungan antara komitmen dengan perilaku
manager peluang untuk terjadi miskomunikasi menjadi besar. Miskomunikasi seperti itu
dapat berimplikasi negatif terhadap keberlangsungan dan kemajuan perusahaan (Agarwal et
al., 1999). Hal yang sama dapat terjadi kepada masyarakat terhadap tokoh agama mereka.
Perilaku para tokoh agama dapat berpengaruh kepada perspektif mereka tentang karisma dan
loyalitas terhadap para tokoh agama.
Pentingnya loyalitas organisasi telah lama ditemukan dalam kajian managemen.
Loyalitas ini mengungkapkan berbagai sikap karyawan yang kompleks seperti komitmen
afektif yang mencakup kedekatan emosional kepada organisasi, komitmen bertahan bekerja
pada organisasi dan komitmen normatif yang merepresentasikan pertimbangan tanggung
jawab terhadap organisasi. Pada dasarnya penelitian menunjukkan bahwa keputusan untuk
bertahan pada suatu organisasi ditentukan oleh tinggi rendahnya komitmen seseorang kepada
organisasinya (Wu, t.th).
Kerendahan loyalitas dan komitmen terhadap agama pun tidak menutup kemungkinan
dapat berakibat pada keputusan seseorang untuk melepaskan tali ikatan dengan agama
tertentu lalu mencari alternatif lain, baik berupa agama lain atau tidak beragama sama sekali.
Kejadian seperti ini dapat saja muncul sebagai implikasi dari perilaku tokoh agama dalam
masyarakat tertentu.
III
PENUTUP
Analisis utama menunjukkan beberapa hasil penting, yaitu sebagai berikut: (a)
Tempat domisili warga masyarakat dengan kategori pedesaan dan perkotaan yang
merepresentasikan keterlibatan dan keterbukaan mereka terhadap proses modernitas memiliki
pengaruh yang sangat penting terhadap tingkat partisipasi keagamaan masyarakat, tingkat
kebutuhan masyarakat kepada tokoh agama, karisma tokoh agama di mata masyarakat, dan
loyalitas masyarakat kepada tokoh agama; (b) Model konsep pluralisme yang dipahami dan
diyakini anggota masyarakat memberikan pengaruh sangat penting dalam menentukan
karakter hubungan antar variabel dalam empat model yang diajukan untuk diuji; (c) Status
ekonomi dan partisipasi keagamaan memiliki pengaruh pada variabel tertentu, akan tetapi
pengaruh ini cenderung tergantung pada karakter atau model konsep pluralisme yang
diyakini warga masyarkat. Misalnnya, status ekonomi ditemukan berpengaruh positif pada
Temu Riset Keagamaan Nasional VI, Yogyakarta 13‐16 Oktober 2008 http://muliadinur.wordpress.com/ | 14
model yang menggunakan konsep pluralisme differential sebagai salah satu variabel dan
sebaliknya berpengaruh negatif pada model yang menggunakan konsep pluralisme relativis;
(d) Kebutuhan kepada tokoh agama dan karisma tokoh agama ditemukan berpengaruh secara
signifikan pada loyalitas kepada tokoh agama dalam semua (empat) model yang diuji; (e)
Perbedaan gender dan perbedaan agama ditemukan juga berpengaruh pada variabel tertentu
dalam model dengan karakter konsep pluralisme tertentu. Misalnya, perbedaan agama dan
gender ditemukan berpengaruh secara signifikan pada model konsep pluralisme differential,
akan tetapi pengaruh serupa tidak ditemukan dalam model konsep pluralisme yang lain; (f)
Loyalitas yang tinggi terhadap tokoh agama tidak selamanya menunjukkan bahwa tokoh
agama memiliki karisma yang tinggi dalam persepsi anggota masyarakat tertentu. Warga
masyarakat yang melaporkan diri memiliki tingkat partisipasi keagamaan private lebih tinggi
menunjukkan tingkat persepsi karisma tokoh agama yang lebih rendah, meskipun
melaporkan tingkat loyalitas yang tinggi kepada tokoh agama mereka. Dengan demikian,
tidak selamanya persepsi tingkat karisma tokoh agama berjalan secara harmonis dengan
tingkat loyalitas kepada mereka; (g) Kecenderungan bersikap relativis dalam melihat
hubungan antar agama memiliki pengaruh negatif terhadap signifikansi peran tokoh agama
dalam masyarakat; dan terakhir (h) Orang Kristen menunjukkan tingkat kebutuhan kepada
tokoh agama mereka yang lebih tinggi dari pada orang-orang Islam. Hal ini mungkin terkait
dengan perbedaan tingkat pendidikan dan ekonomi tokoh-tokoh agama antara masyarkat
Kristen dan Muslim.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perbedaan karakter tempat domisili
masyarakat sangat penting pengaruhnya terhadap pembentukan model konsep pluralisme
keagamaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Selanjutnya, posisi tokoh agama dalam suatu
masyarakat memiliki kecenderungan besar untuk ditentukan oleh tingkat kebutuhan anggota
masyarakat kepada mereka. Tingkat kebutuhan ini sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor,
termasuk status sosial dan ekonomi serta tingkat partisipasi keagamaan anggota masyarakat.
Selanjutnya, untuk menjelaskan bagaimana proses pembentukan karakter hubungan antar
konsep atau variabel yang diuji dan teridentifikasi dalam studi ini membutuhkan studi lanjut
dengan pendekatan yang lebih grounded untuk menjelaskan lebih dalam dan rinci dengan
prosedur kualitatif guna membangun makna-makna konstruksi yang relevan dan teruji.

http://muliadinur.files.wordpress.com/2008/10/makalah-tr-vi_muliadi-nur.pdf

0 komentar: